Citra Maudy, penulis artikel berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan mungkin tak pernah menduga karyanya akan berekor demikian panjang. Pada 7 Januari lalu, dia bahkan harus datang ke Polda DIY, untuk diperiksa sebagai saksi. Padahal sebagai jurnalis, meski berkarya di media kampus, Citra berada di dalam lingkup UU Pers.
“Banyak pertanyaan saya jawab dengan tidak tahu,” ujarnya ketika ditanya soal jalannya pemeriksaan.
Editor tulisan itu, Thovan Sugandi, juga dipanggil polisi. Proses inilah yang menjadi pertanyaan bagi redaksi majalah kampus Balairung, yang menerbitkan artikel tersebut pada 5 November 2018. Mewakili rekan-rekannya, Oktaria Asmarani dari redaksi Balairung mengatakan, saat pemeriksaan polisi, pertanyaan yang disampaikan cenderung tidak subtantif ke arah kasus dugaan pemerkosaan itu sendiri.
“Yang ditanyakan seperti, mengapa dia bisa kenal korban. Siapa saja narasumbernya. Bagaimana bisa tahu berita dan kok bisa melakukan wawancara. Bahkan ada juga pertanyaan apakah berita ini benar atau tidak,” kata Oktaria.
Balairung adalah Unit Kegiatan Mahasiswa resmi di Kampus UGM di bidang jurnalistik. Produk jurnalistik yang mereka hasilkan terikat pada kaidah yang termuat dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber. Kerja jurnalistik mereka, tambah Oktaria, juga terikat pada kode etik jurnalistik dan lembaga mereka jelas keberadaan serta kontaknya.
“Tulisan nalar pincang itu merupakan upaya kami untuk mengungkap kebenaran melalui kaidah-kaidah jurnalistik. Jika ada pihak-pihak yang mempertanyakan upaya kami atau merasa dirugikan dengan berita yang kami tulis, kami selalu membuka ruang untuk memberi hak jawab kepada pembaca,” tukas Oktaria.
Balairung mendesak penyelesaian kasus ini, lebih diarahkan ke kasus utamanya, yaitu dugaan pemerkosaan, dan bukan kinerja jurnalistik mereka. Desakan itu disampaikan dalam paparan proses penyidikan kasus Agni di LBH Yogyakarta, Rabu (01/16). Dalam kesempatan ini, 63 lembaga dan 27 individu menandatangani pernyataan bersama menolak kriminalisasi jurnalis terkait kasus Agni.
Pengacara dari LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli yang mendampingi Balairung dalam proses hukum di kepolisian, menguraikan sejumlah kejanggalan. Pemeriksaan jurnalis sebenarnya sudah tidak selaras dengan pasal yang dijadikan basis penyidikan polisi. Sejauh ini, polisi menggunakan KUHP pasal 285 dan 289 tentang perkosaan dan pencabulan sebagai dasar penyidikan.
“Kami melihat ini janggal, karena dalam kasus Agni ini, posisi Balairung hanya sebagai pewarta, di mana dia terikat dengan UU 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik,” kata Yogi.
Pasal 4 ayat 4 UU Pers sebenarnya sudah memuat hak tolak bagi jurnalis terkait pemeriksaan sebagai saksi jika dikaitkan dengan berita yang ditulisnya. Hak tolak ini diberikan untuk melindungi sumber informasi dan atau rahasia identitas sumber infomasi. Keputusan untuk memenuhi panggilan polisi, kata Yogi, dimaksudkan sebagai upaya menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
“Kami memenuhi pangilan polisi sebagai bagian menghormati hukum yang berlaku di Indonesia. Cuma dalam konteks pemeriksaan terhadap Citra maupun Thovan, kami sudah memberi batasan tegas ketika mereka diperiksa. Bahwa apa yang dilakukan Balairung adalah bagian dari kerja jurnalistik sehingga dia terikat dengan kode etik jurnalistik dan UU 40/99 tentang pers,” ujar Yogi.
Salah satu pertanyaan penyidik kepada jurnalis muda ini, yang dianggap sangat mengganggu, adalah definisi pemerkosaan. Pertanyaan yang diajukan seolah mengarahkan kepada kesimpulan, bahwa laporan yang ditulis Balairung mengarah kepada hoax.
Tommy Apriando dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta melihat pemanggilan terhadap jurnalis Balairung adalah bentuk ancaman demokrasi di tingkat kampus. Para jurnalis ini memiliki kebebasan menyampaikan laporan jurnalistik, dan tidak dapat dikriminalisasi berdasar karya mereka. Jurnalis tidak sewajarnya dimintai pendapat, apakah peristiwa yang terjadi benar-benar sebuah pemerkosaan atau tidak, kata Tommy.
“Penyidik bisa lebih cerdas dengan memanggil Komnas Perempuan. Mereka paham dalam konteks mendefinisikan ini. Atau memanggil ahli yang paham terkait itu, bukan definisi pemerkosaan ditanyakan ke Balairung. Ini salah kaprah. Dalam konteks saksi, itu juga harus dipertanyakan,” ujarnya.
Direktur LBH Pers Yogyakarya, Pito Agustin Rudiana menyatakan, sebagai produk jurnalistik, laporan Balairung bisa ditelaah sendiri oleh polisi. Dengan demikian, polisi tidak perlu menjadikan jurnalis sebagai saksi. Jika pola ini diterapkan, menjadi preseden buruk bagi jurnalis karena di masa depan mungkin akan lebih sering dipanggil polisi terkait laporan-laporan mereka di media.
“Polri sudah melakukan MOU dengan Dewan Pers, dimana dalam kasus jurnalistik, apalagi terkait kasus pelanggaran etika, akan diselesaikan melalui Dewan Pers bukan melalui pemanggilan di kepolisian. Tugas polisi adalah menyidik, bukan melakukan penghakiman terhadap tulisan jurnalis,” kata Pito.
Sementara itu, Direktur Indonesian Court Monitoring (ICM), Tri Wahyu mengingatkan, laporan Balairung sebenarnya mendukung upaya negara mengatasi tren peningkatan kekerasan terhadap perempuan. Tri Wahyu mengatakan, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan telah melansir data yang menyatakan bahwa Indonesia mengalami darurat kekerasan terhadap perempuan.
Dia juga mengingatkan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian memiliki sikap yang jelas dalam kasus terkait kekerasan terhadap perempuan.
“Sudah ada telegram Kapolri ke seluruh Polda agar penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan seragam, dan arahnya adalah pengakhiran kekerasan terhadap perempuan. Kita juga percaya bahwa niat baik pelapor dari UGM adalah menuntaskan kasus kekerasan terhadap perempuan, bukan kriminalisasi terhadap pejuang pers muda di Balairung,” paparnya. [ns/uh]