Jutaan perempuan dan anak gadis di seluruh dunia kehilangan akses untuk mendapatkan layanan kontrasepsi dan aborsi karena pandemi virus corona. Kini, beberapa bulan setelah pandemi banyak perempuan yang kehamilannya sudah memasuki trisemester kedua karena mereka tidak dapat menemukan perawatan tepat waktu.
Kantor berita Associated Press, Rabu (19/8), melaporkan mengutip laporan Marie Stopes International, hampir 2 juta lebih sedikit perempuan di yang bisa mendapatkan layanan tersebut di periode Januari dan Juni dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dari angka tersebut, sebanyak 1,3 juta berada di India.
Organisasi tersebut memperkirakan dari jumlah tersebut akan ada 900 ribu kehamilan yang tidak direncanakan di seluruh dunia sebagai akibat pandemi Covid-19. Selain itu juga terdapat 1,5 juta aborsi yang dikategorikan tidak aman dan lebih dari 3.000 kematian ibu.
Direktur Global Evidence Kathryn Church mengatakan angka-angka itu “kemungkinan akan makin bertambah” jika layanan-layanan tersebut juga tidak berjalan di Amerika Latin, Afrika dan Asia,
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization /WHO) pada bulan ini mengatakan dua pertiga dari 103 negara yang disurvei antara pertengahan Mei dan awal Juli melaporkan adanya gangguan pada layanan keluarga berencana dan kontrasepsi. Dana Kependudukan PBB memperingatkan hingga 7 juta kehamilan yang tidak rencanakan terjadi di seluruh dunia.
Karantina wilayah, pembatasan perjalanan, gangguan rantai pasokan, peralihan besar-besaran sumber daya kesehatan untuk memerangi Covid-19 dan ketakutan terhadap infeksi terus menghalangi banyak perempuan dan godis untuk melakukan perawatan.
Diana Kihima dari Pusat Promosi Perempuan mengatakan kehamilan remaja dilaporkan melonjak di Kenya, sementara beberapa perempuan muda di daerah kumuh Kibera Nairobi terpaksa menggunakan pecahan kaca, tongkat, dan pena untuk mencoba menggugurkan kehamilan. Dua meninggal karena luka-luka, sementara beberapa tidak bisa hamil lagi.
Federasi Keluarga Berencana Internasional (International Planned Parenthood Federation/IPPF) melaporkan di beberapa bagian Afrika Barat, penyediaan beberapa alat kontrasepsi turun hampir 50% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Saya belum pernah melihat kondisi seperti ini, selain terjadi pada negara-negara konflik,” kata Diana Moreka, koordinator Jaringan MAMA yang menghubungkan perempuan dan anak perempuan untuk peduli di 16 negara Afrika. Panggilan ke nomor hotline mereka meningkat tajam, termasuk yang nomor yang baru diluncurkan sejak pandemi dimulai di Kongo, Zambia, dan Kamerun. Lebih dari 20 ribu wanita tercatat telah menelepon sejak Januari.
Seperti yang lain, Moreka memprediksi ledakan kelahiran bayi akan terjadi di beberapa bagian dunia. “Pandemi ... telah membawa kami bertahun-tahun ke belakang” dalam pelayanan keluarga berencana, katanya.
Daniela Draghici, anggota komite eksekutif jaringan IPPF Eropa, mengatakan beberapa negara tidak menganggap layanan kesehatan seksual dan reproduksi penting selama masa karantina wilayah. Bahkan, imbuh Draghici, setelah LSM di Rumania menekan pemerintah untuk menyatakan layanan itu penting, banyak rumah sakit masih belum menyediakan layanan aborsi.
“Dampaknya dalam beberapa kasus adalah mirip seperti yang biasa terjadi pada perempuan muda selama era komunisme, mendapatkan aborsi dari seseorang yang mengaku sebagai penyedia medis ... dan berdoa,” katanya.
Di kota besar India di Mumbai, seorang wanita tidak dapat menemukan alat tes kehamilan setelah lockdown dimulai pada Maret. Selama masa itu juga, kata kata Dr. Shewetangi Shinde, tidak ditemukan moda transportasi untuk mendapatkan perawatan tepat waktu. Ia merawat perempuan tersebut di rumah sakit umum. Saat itu, aborsi medis sudah bukan pilihan karena kehamilannya sudah terlalu lanjut.
Shinde mengatakan India menempatkan aborsi sebagai layanan penting selama masa lockdown, tetapi banyak yang tidak menyadarinya. Ia juga bagian dari organisasi Advokat Remaja Aborsi Aman India.
Dr. Suchitra Dalvie, seorang ginekolog di Mumbai dan koordinator Asia Safe Abortion Partnership, mengatakan pandemi telah memperlihatkan banyak perempuan yang makin sulit mengakses layanan aborsi dengan aman.
“Semua orang ini ... kelompok yang terpinggirkan, mayoritas yang tidak terlihat. Begitulah hidup ini,” katanya. [ah/ft]