Novel “Teror Mata Abdi Astina” menceritakan tokoh fiksi yang merupakan penyidik Lembaga Anti-Korupsi Nasional (Lakon). Pria bernama Sindu itu berjuang sendirian memberantas korupsi.
“Nah dia berjuang sendirian untuk memperjuangkan kebenaran itu sendiri. Tapi ternyata imbas dan dampaknya dia malah diserang. Dalam penyerangan itu justru tidak ada yang membantu dari penegak hukum yang terkait kemudian dari pihak negara. Akhirnya dia hanya pasrah kepada yang di atas. Karena hanya itu yang bisa dia lakukan,” kisah Agus Dwi Prasetyo, jurnalis yang menulis buku tersebut.
Kisah di atas barangkali mengingatkan pada kasus Novel Baswedan, penyidik KPK yang pada April 2017 disiram air keras oleh seseorang sehingga sebagian penglihatannya buta. Novel sempat memulihkan penglihatannya di Singapura dan kini sudah bekerja kembali sebagai penyidik. Namun sampai saat ini, polisi belum berhasil menemukan pelaku dan dalang penyerangan itu.
Penulis buku ini, Agus Dwi Prasetyo, adalah wartawan media nasional yang selama beberapa tahun meliput di lembaga anti-rasuah KPK. Dia menemukan sejumlah fakta baru dalam kasus ini. Namun Tyo, sapaan akrabnya, justru memilih sastra sebagai cara mengungkapkannya kepada publik.
“Awalnya ini mau dibikin investigasi murni (produk jurnalistik) tapi karena terlalu berisiko dan banyak hal yang merintangi untuk karya jurnalistik itu, jadi batal,” papar Tyo usai peluncuran buku di Jakarta, Minggu (11/11/2018) siang.
“Kalau kita jurnalis kan harus check and balance, kalau ada isu apapun harus konfirmasi. Di sini saya kesulitan buat konfirmasi. Mungkin kita bicara soal sastra mungkin itu cara terbaik. Andrea Hirata pernah bilang fiksi adalah cara terbaik untuk menceritakan fakta, makanya saya pakai cara itu,” kata Tyo menambahkan.
Tyo berharap buku ini bisa menginspirasi masyarakat di dunia nyata untuk berjuang memberantas korupsi dan memberi perlindungan pada pegawai KPK.
“Saya di sini mengajak masyarakat untuk ikut berjuang. Di sini ada orang terdzalimi dan belum dapat keadilan. Menurut saya keadilan harus ditegakkan dengan membangun masyarakat untuk ikut langsung dalam perjuangan itu,” kata Tyo menerangkan.
Buku yang diterbitkan REQbook ini, ujar penulis, juga memuat petunjuk-petunjuk atas apa yang terjadi di balik kasus Novel Baswedan. Proses penyembuhan Novel di Singapura juga ikut dikisahkan.
Haris Azhar, pengacara Novel Baswedan mengatakan, karya sastra ini adalah metafora atas kondisi nyata Indonesia.
“Buku ini bisa bridging out tentang sebenarnya ada masalah apa di negeri ini. Buku ini mencoba menafsirkan kasus Novel. Buku ini mencoba menafsirkan lewat kasus Novel dan situasi besarnya itu digambarkan lewat buku ini. Dan masyarakat bisa dengan 30 menit baca buku ini jadi dia tau masalahnya. Sebenarnya buku ini juga kayak ngasih petunjuk tentang Anda bisa ngapain,” terang Haris yang kini jadi Direktur Eksekutif Lokataru Foundation.
Titik Terang Kasus Penyerangan Novel Baswedan
Lalu bagaimana dengan perjalanan kasus Novel Baswedan sendiri? Hampir 2 tahun berjalan, kasus ini masih belum menemukan titik terang. Polisi belum berhasil mengungkap orang-orang di balik penyerangan ini. Badan pengawas lembaga publik Ombudsman pada Maret 2018 menyatakan kasus ini merupakan maladministrasi. Namun Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan polisi sudah melakukan semua prosedur dengan benar.
Namun kuasa hukum Novel menyatakan ada fakta-fakta yang diabaikan oleh kepolisian. Hal itu terungkap dari penelusuran yang dilakukan tim kuasa hukum terhadap lingkungan rumah Novel dan tetangganya.
“CCTV ada banyak yang belum diambil; kita ketemu dengan beberapa saksi yang saksi-saksi itu bilang bahwa mereka didatangi oleh polisi tapi belum pernah diperiksa; lalu ada beberapa saksi yang diperiksa polisi baik di level polres maupun polda maupun mabes, tetapi keterangan-keterangan mereka yang sudah mereka berikan itu tidak dijadikan rujukan untuk penanganan kasus ini atau peningkatan status,” paparnya.
“Jadi misalnya dia bilang ‘saya udah kasih infonya kok pak, ada ciri-ciri orangnya.’ Tapi justru polisi sendiri yang kita tidak tahu sumbernya dari mana, malah membantah,” jelasnya.
Gabungan kelompok masyarakat sipil terus mendesak pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) kasus Novel. Organisasi ini antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW), LSM HAM KontraS, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pembentukan TGPF juga diserukan Novel Baswedan sendiri ketika dia kembali bekerja sebagai penyidik pada 27 Juli 2018.
"Saya memandang, pengungkapan penyerangan (terhadap) orang-orang yang memberantas korupsi-- diteror, diserang-- sama pentingnya sebagaimana saya memberantas korupsi. Oleh karena itu saya akan terus menyampaikan ini, apa pun resikonya saya akan sampaikan terus," tambahnya.
Namun sampai hari ini Presiden Joko Widodo belum juga bergeming. [rt/em]