Peneliti Amnesty International Indonesia Papang Hidayat mendesak pemerintah membentuk tim investigasi dari luar kepolisian untuk menyelidiki tewasnya dua mahasiswa saat unjuk rasa di depan Gedung DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Kamis 26 September lalu. Menurutnya, tim eksternal tersebut untuk memastikan pertanggungjawaban pihak berwenang atas dugaan keterlibatan polisi Kendari dalam kasus tersebut.
Apalagi, kata dia, akuntabilitas kasus ini juga dipertanyakan karena sanksi ringan yang dijatuhkan terhadap enam polisi. Sanksi tersebut berupa peringatan tertulis, yakni penundaan kenaikan pangkat, penangguhan gaji selama satu tahun, dan sanksi 21 hari penempatan di tempat khusus.
Sanksi ini dijatuhkan setelah keenam anggota polisi itu menjalani dua kali sidang disiplin pada Oktober lalu di ruangan Propam Polda Sultra. Mereka dinyatakan tidak menaati perintah pimpinan karena membawa senjata api dengan peluru tajam saat mengamankan demo pada September lalu.
Padahal, kata Papang, untuk kasus pembunuhan di luar hukum semestinya diproses dengan menggunakan pasal pidana.
"Paling tidak kalau itu harus dilakukan polisi dilakukan oleh unit yang tidak merupakan bagian dari unit terduga pelaku. Kalau pelakunya dari Polres atau Polda harusnya diambil dari Mabes Polri. Tapi sebetulnya yang kita harapkan ada bentuk tim investigasi independen di luar kepolisian," jelas Papang kepada VOA, Jumat (1/11/2019).
Papang menambahkan di beberapa negara dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan aparat yang bisa dituntut oleh jaksa penuntut umum. Hanya, kata dia, sistem ini belum dianut oleh Indonesia. Namun, sistem di Indonesia memungkinkan bagi lembaga negara lain seperti Komnas HAM, Ombudsman dan Kompolnas untuk ikut serta dalam penyelidikan kasus yang melibatkan kepolisian seperti yang di Kendari.
"Tapi hasil temuan mereka (Komnas HAM dkk) itu ujungnya hanya rekomendasi kepada polisi. Tidak bisa laporannya dijadikan bahan proses penuntutan pidana. Hanya sedikit kasus dimana polisi lewat sidang internalnya, tidak hanya menghukum disiplin, tapi juga membawa ke pidana. Itu sedikit," tambah Papang.
Ia menjelaskan Polri sebenarnya sudah memiliki Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa yang sesuai dengan standar HAM. Namun, belum ada perubahan yang berarti dalam praktik yang dilakukan kepolisian dalam penggunaan kekuatan dan pengendalian massa.
VOA sudah meminta tanggapan kepada Polda Sultra dan Mabes Polri terkait desakan dari Amnesty Internasional Indonesia, namun hingga berita ditayangkan pada Minggu (3/11) belum ada tanggapan.
Sejauh ini, Mabes Polri telah membentuk tim investigasi dan telah memeriksa enam personel Polda Sultra yang diduga melanggar SOP Pengamanan karena membawa senjata api saat menjaga demo mahasiswa di depan Gedung DPRD Sultra.
Polri juga telah mengirimkan tiga proyektil yang ditemukan di tempat kejadian perkara dan senjata api milik polisi tersebut ke Belanda dan Australia untuk uji balistik.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengatakan pihaknya juga telah melakukan penyelidikan kasus tewasnya dua mahasiswa Kendari itu. Menurutnya, Komnas HAM menemukan fakta tentang kekerasan yang dilakukan polisi saat demo September lalu. Namun, hal tersebut belum dapat dijadikan kesimpulan bahwa dua mahasiswa tersebut tewas karena senjata polisi.
Karena itu, kata dia, polisi masih menunggu hasil dari uji balistik terhadap senjata api yang dikirimkan ke Australia. Hasil dari Australia ini nantinya akan dijadikan pembanding dengan hasil laboratorium milik Polri.
"Tim penyidik Polri masih menunggu, kami juga menunggu hasil forensik tentang peluru-peluru tadi. Kalau peluru itu ternyata terbukti sama dengan yang dimiliki 6 polisi tadi. Artinya, pasti itu di antara mereka yang nembak. Kalau itu benar, berarti mereka harus diadili secara pidana," jelas Ahmad Taufan kepada VOA.
Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) yang meninggal tersebut adalah Immawan Randi dan Yusuf Kardawi. Menurut Taufan, untuk kasus Randi lebih mudah karena hanya perlu menunggu hasil uji forensik dari Australia.
Namun, untuk kasus Yusuf lebih sulit karena belum sempat diautopsi karena permintaan keluarga. Karena itu, Komnas HAM telah meminta Polri untuk mendalami kembali penyebab meninggalnya Yusuf.
"Untuk Yusuf itu ada masalah karena belum sempat diautopsi. Ada keretakan pada tulang tengkoraknya, tapi sebenarnya ada lubang di situ. Sehingga ada beberapa kemungkinan, Yusuf ini bisa jadi meninggal karena dipukul, bisa jadi ada tembakan di kepalanya. Bisa jadi keduanya," tambahnya.[sm/ft]