Tokyo dan 12 wilayah lain di Jepang akan menghadapi pembatasan baru COVID-19 yang mulai berlaku Jumat (21/1), menyusul lonjakan kasus yang dipicu oleh varian omicron yang mudah menular.
Panel pakar yang ditugaskan pemerintah, Rabu (19/1), menyetujui rencana untuk menempatkan 13 area di bawah pengekangan tiga minggu hingga 13 Februari, kata Menteri Revitalisasi Ekonomi Daishiro Yamagiwa, yang juga bertanggung jawab dalam program-program penanggulangan virus.
Tokyo mencatat 7.377 kasus baru pada Rabu (19/1), tertinggi sejak rekor sebelumnya 5.908 pada 13 Agustus. Tetapi jumlah kasus yang melonjak itu belum membebani rumah sakit Tokyo. Menurut pemerintah kota itu, hanya sekitar seperempat dari tempat tidur yang tersedia telah diisi di Tokyo dan kasus serius hanya 2% dari semua pasien rawat inap.
Perdana Menteri Fumio Kishida diperkirakan akan secara resmi mengumumkan pembatasan baru pada pertemuan gugus tugas pemerintah pada Rabu (19/1) malam.
Jepang sejauh ini menolak memberlakukan lockdown untuk memerangi pandemi dan sebaliknya berfokus pada usaha yang mengharuskan restoran dan bar tutup lebih awal dan tidak menyajikan alkohol, serta meminta masyarakat untuk memakai masker dan mempraktikkan jarak sosial. Pemerintah memilih kebijakan itu dalam upaya meminimalkan pukulan terhadap ekonomi.
Jepang telah secara bertahap memperluas kegiatan sosial dan bisnis sejak gelombang infeksi sebelumnya mereda pada September, yang menurut para ahli sebagian besar disebabkan oleh kemajuan pesat negara itu dalam menggelar program vaksinasi.
Namun para ahli mengatakan infeksi yang dipicu varian omicron semakin umum. Varian yang menyebar cepat itu menyebabkan sejumlah tenaga medis dan lainnya terpaksa melakukan isolasi mandiri setelah dinyatakan positif atau melakukan kontak dekat dengan seseorang yang mengidapnya. Infeksi yang meningkat tajam telah mulai melumpuhkan banyak rumah sakit, sekolah, dan sektor lain di beberapa daerah.
Pemerintah pusat mengambil tindakan menyusul permintaan sejumlah gubernur lokal, termasuk Gubernur Tokyo Yuriko Koike, yang memperingatkan tentang kemungkinan terhentinya layanan publik penting, seperti transportasi umum dan pengumpulan sampah, akibat lonjakan kasus infeksi.
Secara nasional, Jepang telah mencatat lebih dari 32.000 kasus, sehingga totalnya menjadi 1,93 juta kasus, dengan 184,00 kematian. Menurut Kementerian Kesehatan, lebih dari 134.000 pasien sekarang dikarantina atau dirawat di rumah sakit karena COVID-19.
Shigeru Omi, penasihat medis utama pemerintah, mengatakan vaksin tidak lagi menawarkan perlindungan yang dapat diandalkan terhadap varian omicron, sehingga menjadikan pengujian dan pembatasan sosial tindakan yang efektif dan realistis untuk mencegah lebih banyak infeksi.
Menurut rencana, pembatasan akan diberlakukan di 16 wilayah di Jepang, termasuk tiga prefektur lainnya -- Okinawa, Hiroshima dan Yamaguchi -- yang ditempatkan di bawah tindakan serupa awal bulan ini.
Wilayah-wilayah lain, termasuk Osaka yang terkena dampak parah, di mana 5.396 kasus baru dilaporkan pada Selasa (18/1), kemungkinan akan mendapat perlakuan serupa kemudian.
Sementara sekitar 80% persen orang Jepang telah menerima dua dosis vaksin pertama mereka, peluncuran booster secara nasional lambat dan hanya mencapai 1,3% dari populasi.
Pemerintah baru-baru ini memutuskan untuk memperpendek interval antara suntikan kedua dan ketiga menjadi enam bulan dari delapan bulan untuk orang tua, tetapi orang-orang muda kemungkinan baru akan mendapatkan giliran mereka pada Maret atau setelahnya. [ab/uh]