Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mendukung diskreasi yang diterbitkan pemerintah yang memberikan pilihan pada orang tua atau wali siswa untuk menentukan metode pembelajaran bagi anaknya, baik pembelajaran tatap muka (PTM) atau pembelajaran jarak jauh.
Dari hasil pengawasan KPAI terkait pembelajaran tatap muka 100 persen, setidaknya ada dua titik kerentanan, yaitu tidak terjadinya jaga jarak saat proses pembelajaran di kelas dan juga terjadi kerumunan penjemput, terutama di Sekolah Dasar, yang terjadi hampir di seluruh sekolah.
"Karena di masa pandemi (COVID-19) ini pemenuhan hak anak itu yang utama adalah hidup, yang kedua adalah hak sehat, yang ketiga baru hak pendidikan. Kalau anak-anak ini tetap hidup dalam keadaan sehat, maka pendidikannya masih bisa dikejar ketertinggalan pelajaran. Tapi kalau dipaksakan masuk, dia tertular, kemudian meninggal, kan sudah nggak ada gunanya," kata Retno.
Sejumlah kalangan mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan pembelajaran tatap muka yang sudah dilaksanakan secara penuh sejak 3 Januari 2022 seiring dengan meningkatkan kasus omicron di Tanah Air.
Buntutnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengeluarkan diskresi atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri terkait pembelajaran tatap terbatas di masa COVID-19. Dalam diskresi, pemerintah menyetujui daerah-daerah yang menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 2 untuk menggelar sekolah tatap muka dengan kapasitas 50 persen.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, mengkritisi adanya diskresi tersebut. Menurutnya, SKB Empat Menteri sebetulnya sudah mengatur mengenai pembelajaran tatap muka. SKB tersebut, katanya, telah mencantumkan bahwa jika kasus COVID-19 meningkat, maka pembelajaran tatap muka bisa ditunda. Sebaliknya, bila kondisi telah membaik, maka sekolah tatap muka dapat dilakukan kembali meski dengan kapasitas 50 persen.
Menurut Trubus, keluarnya diskresi Kementerian Pendidikan hanya untuk beberapa provinsi itu dapat membuat kebingungan daerah lain. Kalau nanti PPKM dinaikkan ke level tiga, katanya, maka harus ada diskresi baru lagi yang mengatur mengenai sekolah tatap muka.
"Dengan adanya aturan ini diskresi Kementerian pendidikan kesannya tumpang tindih, nggak jelas. Artinya SKB Empat Menteri jadi kelihatan bermasalah. Dengan mengeluarkan yang khusus ini terjadi ketidakharmonisan dan membingungkan kepala daerah. Karena selama ini daerah itu sudah mengambil keputusannya sendiri-sendiri," ujar Trubus.
Trubus juga menyayangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang meminta izin kepada Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkait penghentian pembelajaran tatap muka 100 persen.
Dia menilai permintaan Anies kepada Luhut itu tidak ada relevansinya.
Dia menegaskan mestinya kepala daerah tetap berpatokan pada SKB Empat Menteri, tidak perlu ada surat diskresi dari Kementerian Pendidikan. [fw/ah]