Sekitar 300 aktivis mahasiswa berunjuk rasa di ibu kota Bangladesh, Senin (1/3), mengecam kematian seorang penulis dan komentator di penjara. Penulis itu ditangkap tahun lalu atas tuduhan melanggar undang-undang keamanan digital yang menurut para kritikus membatasi kebebasan berpendapat.
Para pengunjuk rasa berpawai melalui kampus Universitas Dhaka dan jalan-jalan di Dhaka menuju kantor Kementerian Dalam Negeri untuk juga menuntut pembatalan undang-undang keamanan digital dan pembebasan tujuh aktivis mahasiswa yang ditangkap selama protes baru-baru ini yang mengecam kematian Mushtaq Ahmed yang berusia 53 tahun.
Mereka mendobrak barikade dengan melepas pagar-pagar kawat berduri dalam perjalanan menuju ke kementerian itu, tetapi dicegat oleh beberapa ratus polisi di luar kantor kementerian itu yang terletak di pusat kota Dhaka.
“Negara harus bertanggung jawab. Ia telah dibunuh, itu bukanlah kematian yang wajar. Kenapa ia ditahan selama sembilan bulan di penjara tanpa keadilan?,'' kata seorang pengunjuk rasa, Mahfuza Akhter. “Kami menginginkan keadilan,'' katanya.
Kematian Ahmed, Kamis malam, pekan lalu, memicu protes di jalan-jalan dan di media sosial, serta mendorong kelompok-kelompok HAM internasional, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, mendesak pemerintah Bangladesh untuk melakukan penyelidikan menyeluruh. Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) yang berbasis di New York menuntut pemerintah membatalkan undang-undang keamanan digital tersebut.
Ahmed ditangkap di Dhaka Mei tahun lalu karena membuat komentar di media sosial yang mengkritik penanganan pemerintah terhadap pandemi virus corona. Permohonannya untuk dibebaskan dengan jaminan telah enam kali ditolak. Setidaknya 10 orang lainnya didakwa melakukan penghasutan di bawah undang-undang keamanan digital dalam kasus yang sama dengan yang dihadapi Ahmed.
CPJ menuntut pembebasan dari penjara kartunis politik Kabir Kishore, yang ditangkap dalam kasus itu tahun lalu. Pengacara Kishore mengatakan selama proses pengadilan sebelumnya bahwa ia “disiksa tanpa ampun'' di dalam tahanan.
Sementara laporan postmortem mengatakan Ahmed meninggal secara alami, para pengunjuk rasa dan pengacaranya mengatakan bahwa ia meninggal karena disiksa. Meskipun kesehatannya buruk, menurut mereka, Ahmed ditahan di penjara selama sembilan bulan dan ditolak permohonannya untuk dibebaskan dengan jaminan.
Pada hari Senin (1/3), para pengunjuk rasa menggunakan pengeras suara untuk meneriakkan slogan-slogan yang menyalahkan Perdana Menteri Sheikh Hasina atas kematian Ahmed.
Polisi mengatakan Ahmed berusaha menodai citra bangsa atau menyebarkan kebingungan.
Undang-Undang Keamanan Digital tahun 2018 menjatuhkan hukuman penjara hingga 14 tahun untuk propaganda atau usaha apa pun yang menentang perang kemerdekaan negara itu, pendiri negara Sheikh Mujibur Rahman dan lagu kebangsaan atau bendera. Undang-undang itu juga menyatakan seseorang bisa dipenjara hingga 10 tahun karena merusak keharmonisan masyarakat atau menciptakan kerusuhan atau kekacauan.
Amnesty International mengecam undang-undang itu karena kurangnya definisi yang jelas pada pasal-pasalnya sehingga bisa menimbulkan salah tafsir; tidak adanya penjelasan dan pengecualian; serta adanya hukuman represif untuk setidaknya 14 pelanggaran.
Pemerintah mengatakan undang-undang itu diperlukan untuk menjaga ketertiban. Partai-partai oposisi dan tokoh-tokoh media memperingatkan bahwa ruang lingkup undang-undang tersebut dapat disalahgunakan untuk menindas para kritikus. [ab/uh]