Sejak beberapa tahun terakhir, kedelai adalah komoditas yang dihindari petani Indonesia. Harganya lebih rendah dari kedelai impor, dan peminatnya kurang banyak karena dianggap kalah kualitas.
Padahal, untuk berbagai produk, seperti tahu dan tempe, kedelai lokal memiliki cita rasa lebih baik. Setidaknya, itu diakui produsen tempe merk Attempe, Nurhayati Nirmalasari.
“Kedelai lokal itu jauh lebih bagus, tetapi rumor di masyarakat, kedelai lokal itu kecil-kecil, jelek. Yang kecil kecil memang ada. Indonesia itu kaya varietas kedelai, ada yang berbiji besar ada yang berbiji kecil. Yang berbiji besar untuk tempe, yang berbiji kecil untuk tahu,” kata Nurhayati dalam diskusi kedelai lokal yang diadakan Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA) Sabtu, (24/2).
Untuk produk tempenya, Nurhayati banyak menggunakan varietas Grobogan, Anjasmoro, dan bio soy. Kedelai lokal juga ada yang berukuran lebih kecil lagi, yang biasa dipakai untuk kecambah.
Masalahnya, karena petani tidak mau menanam kedelai, bagi produsen tempe seperti Nurhayati, mencari bahan baku butuh perjuangan. Karena itu, keberpihakan pada keledai lokal dalam bisnis juga menuntut nasionalisme.
“Saya juga prihatin dengan kedelai lokal ini. Bagaimanapun kita harus berbuat sesuatu untuk kejayaan kedelai lokal. Kualitas tempe dengan kedelai lokal itu lebih gurih, lebih enak,” ujarnya.
Ada juga tantangan untuk edukasi petani, kata Nurhayati. Dia bercerita pernah menerima kiriman kedelai lokal yang memiliki kandungan non-kedelai cukup banyak, seperti sisa daun, ranting tanaman, tanah dan kerikil. Proses pasca panen ini juga berpotensi menurunkan minat pengusaha menggunakan kedelai lokal.
Butuh Terobosan Produksi
Dalam kesempatan terpisah, pakar kedelai dari Fakultas Pertanian UGM, Subejo Ph.D menyebut ada banyak faktor pemicu krisis kedelai di Indonesia saat ini. Di tingkat global, katanya, memang ada penurunan produksi kedelai di Amerika Serikat dan Brazil, sementara di sisi lain kebutuhan China meningkat. Sebagai contoh, China pada 2020 mengimpor 58 persen dari total ekspor kedelai Amerika Serikat.
Sedangkan dari dalam negeri, terdapat tantangan terkait produksi kedelai lokal, karena komoditas tersebut tidak dapat optimal dikembangkan di negara beriklim tropis, seperti Indonesia. Karena itu, produktivitas kedelai domestik tidak akan mampu bersaing dengan produsen di Amerika atau Eropa.
“Rendahnya kapasitas produksi kedelai ini dapat dilihat dari data BPS. Produksi tertinggi kedelai tahun 2016 dan 2017 sebesar 859.653 ton dan 538.728 ton. Pada tahun 2018 naik menjadi 982.528 ton,” ujarnya dalam paparan tertulis.
Sayangnya, kebutuhan kedelai untuk dalam negeri berkisar 3,4 juta ton hingga 3,6 juta ton. Setiap tahun Indonesia mengimpor hingga 2,6 juta ton. Sebagai contoh, pada 2017 total impor kedelai 2,67 juta ton, dengan 2,63 juta ton berasal dari Amerika serikat.
Karena itulah, kata Subejo, Indonesia membutuhkan terobosan meningkatkan produksi kedelai.
“Inovasi pemuliaan benih kedelai yang produktif, adaptif terhadap perubahan iklim dan memilki citra rasa baik sangat urgen dilakukan,” ujarnya.
UGM sendiri sudah mengembangkan benih kedelai hitam bernama Mallika. Varietas ini memiliki produktivitas tinggi, adaptif terhadap kekurangan air dan sesuai untuk daratan rendah dan sedang. Kampus ini juga berinovasi meningkatkan produktivitas kedelai melalui teknik mikoriza. Teknik ini mampu meningkatkan eksplorasi perakaran hingga ratusan kali, sehingga lebih baik dalam penyerapan air dan nutrisi.
Alternatif lain yang diusulkan adalah budi daya kedelai dengan memanfaatkan lahan perhutanan sosial. Langkah lain adalah sebagai bahan baku tempe. Program insentif juga diperlukan, melalui pemberian subsidi harga, subsidi sarana produksi, pengadaan alat mesin dan introduksi tata niaga kedelai yang baik dan efisien serta penyuluhan dan pendampingan petani.
Pemberdayaan Petani Jadi Kunci
Usulan Subejo senada dengan pemikiran Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia (INAgri), Achmad Ya’kub.
“Yang utama memang kita harus memperkuat kelembagaan petani kita, kemudian juga menyambungkan supply chain individu petani ini menjadi supply chain yang kuat untuk industri. Kendalanya, kita sudah kecil-kecil, petani kita individual, akhirnya menjadi mahal di logistiknya,” kata Achmad ketika dihubungi VOA.
Dalam tata niaga kedelai, petani tidak langsung terhubung dengan industri tetapi melalui tengkulak. Proses ini yang kemudian menekan harga di tingkat petani. Achmad membandingkan kondisinya dengan petani di Taiwan yang kuat dalam sisi ini. Petani berkoordinasi di tingkat kecamatan, sehingga pengolahan lahan, penanaman dan panen dapat dikerjakan dengan ekonomis. Pengolahan hasil produksi menggunakan mesin yang dikelola bersama, untuk mengatasi kendala cuaca dan menjaga kualitas produk.
“Harus ada terobosan memperkuat kelembagaan petani. Berhimpun dalam skala wilayah maupun sesuai dengan jenis tanaman yang dia tanam. Bikin supply chain sendiri, sehingga subsidi dari pemerintah juga tepat waktu, tepat subyek dan tepat obyek,” tambah Achmad.
Indonesia sebagai anggota WTO, lanjut Achmat, tidak bisa menerapkan strategi dari sisi harga. Karena itu, permainannya harus dalam bentuk subsidi pupuk atau teknologi, sehingga petani mau menanam kedelai.
“Kita kan anggota WTO. Barrier tax dan non-tax sudah dilucuti. Kita babak belur dari segi kualitas dan harga. Memang diperlukan kehadiran negara disitu,” katanya lagi.
Kementerian Pertanian sendiri dalam keterangan resmi terakhir menyebut akan mengembangkan lahan kedelai seluas 52 hektar di 16 provinsi untuk meningkatkan produksi kedelai. Provinsi itu adalah Sumatera Utara, Riau, Jambi, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. [ns/ah]