Ketika rencana repatriasi pengungsi Rohingya ke Myanmar diselenggarakan, kelompok-kelompok HAM dan LSM terus mengingatkan tentang faktor keamanan bagi mereka yang kembali ke negara yang baru-baru ini mereka tinggalkan karena aksi kekerasan yang terjadi. Wartawan VOA, Steve Sanford di Bangladesh berbicara dengan beberapa aktivis HAM dan migran tentang masa depan lebih dari 600 ribu pengungsi itu.
Di negara bagian Rakhine, operasi pembersihan yang dilakukan tentara menghapus harapan pengungsi Muslim-Rohingya untuk kembali ke kampung halaman mereka.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan rencana pemulangan yang dipersiapkan Bangladesh dan Myanmar itu tidak tepat waktu, dan ini merupakan manuver untuk mengurangi semakin meningkatnya kecaman dunia internasional.
Para pengungsi mengatakan pelecehan dan penganiayaan harus berakhir sebelum mereka merasa cukup aman untuk kembali.
“Kami hanya akan kembali ke Myanmar jika orang Myanmar tidak menyiksa kami dan memberi kami kesempatan untuk tinggal di sana dengan aman. Mereka tidak menerima identitas kami,” tutur Nasir Hudsa.
Hambatan utama bagi para pengungsi yang kembali adalah verifikasi kewarganegaraan karena sebagian besar yang melarikan diri dari Myanmar hanya membawa sedikit barang mereka.
Bangladesh telah mengeluarkan kartu identitas kepada banyak pengungsi. Tetapi tidak jelas identitas seperti apa yang akan diminta pejabat Myanmar karena warga etnis Rohingya di Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan resmi sejak tahun 1982.
Pakar migran Brahm Press mengatakan sejarah menunjukkan Myanmar menolak memberikan hak kewarganegaraan kepada etnis minoritas itu, termasuk kepemilikan lahan.
“Sebagian strategi yang dijalankan pemerintah militer Myanmar pada masa lalu adalah mengusir orang-orang ini (Muslim-Rohingya, red.) dan menempatkan warga negara Myanmar di tempat itu sehingga mayoritas warga Myanmar kemudian pindah ke daerah-daerah yang sebelumnya didominasi etnis Muslim-Rohingya,” ujar Brahm.
Hampir 60% pengungsi di kamp-kamp di Bangladesh adalah anak-anak, dan trauma psikologis yang mereka mereka alami belum lagi pulih.
Kepala Urusan Komunikasi UNICEF di Asia Selatan Jean Jacques Simon mengatakan, “Mayoritas anak-anak yang menyeberangi perbatasan itu sangat terkena dampak aksi kekerasan ini. Sebagian dari mereka menderita trauma yang serius. Kami mengetahui hal ini setelah berbicara dengan menerima, mendapat pengakuan atas apa yang mereka alami. Kami melihat gambar-gambar yang mereka buat. Kadang-kadang gambar itu menunjukkan aksi kekerasan yang sangat kejam. Jadi mereka membutuhkan dukungan kuat. Bukan hanya saat ini, tetapi juga di masa depan.”
Bahkan ketika semakin banyak warga Muslim-Rohingya melarikan diri – termasuk yang baru datang – memadati kamp-kamp pengungsi, mereka mengatakan membayangkan kembali ke Myanmar dan horor yang mereka hadapi di sana, membuat rencana pulang tidak terpikirkan oleh mereka. [em/jm]