Pengacara Ricky Margono bersama David Surya dari firma hukum Margno-Surya and Partners hari Jumat (8/5) melapor ke Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) mengenai kasus kematian empat ABK Indonesia di atas kapal Long Xin 629 berbendera China.
Keduanya melaporkan agen yang memberangkatkan keempat warga Indonesia itu yang akhirnya meninggal dunia, dengan dugaan tindak pidana perdagangan orang dan pidana perlindungan pekerja migran.
Ricky Margono mengklaim sebagai pihak pertama yang memperoleh informasi tentang kematian empat ABK Indonesia di atas kapal Long Xing 629 pada 30 April, jauh sebelum kabar ini menjadi viral. Informasi itu mereka peroleh dari rekannya, pengacara publik di Korea Selatan bernama Jong Chul-kim. Ditambahkannya, Jong Chul-kim mulanya meminta pendapat hukum soal kematian empat ABK Indonesia tersebut.
"Yang bersangkutan (Jong Chul-kim) juga melampirkan kepada kami bukti perjanjian kerja lautnya dari almarhum Effendi Pasaribu. Lalu rekan saya yang bernama David Surya melakukan riset terhadap hal tersebut. Ketika dicek ternyata kami menemukan adanya tendensi yang sangat kuat telah terjadi dugaan tindak pidana perdagangan orang," kata Ricky.
Menurut Ricky, pengacara publik Jong Chul-kim mengaku mendapat bukti kontrak kerja milik Effendi Pasaribu langsung dari keluarganya.
Ricky menjelaskan ada sejumlah indikasi telah terjadi tindak pidana perdagangan orang dalam kasus kematian Effendi Pasaribu. Dia menyebutkan berdasarkan peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, kontrak kerja mendiang Effendi Pasaribu itu sedianya dilaporkan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di China, negara tempat kapal Long Xin 629 terdaftar. Namun berkas kontrak kerja milik Effendi Pasaribu tidak memiliki cap atau notifikasi dari KBRI Beijing.
Indikasi pelanggaran lainnya adalah dalam kontrak kerja, Effendi pasaribu hanya digaji US$ 300 per bulan dan dipotong US$ 150 dengan janji akan diberikan kepada keluarganya. Namun belum diketahui apakah keluarga mendiang Effendi Pasaribu menerima potongan gaji almarhum atau tidak. Sedangkan US$ 100 lagi ditahan oleh pemilik kapal. Sehingga, lanjut Ricky, Effendi Pasaribu cuma mendapat upah US$ 50 per bulan.
Itu pun masih dipotong dengan biaya lain seperti US$ 1.600 yang diambil oleh agen untuk biaya pemberangkatan, dan denda US$ 5 ribu jika mereka pindah bekerja ke kapal lain. Ada pula denda-denda lain sebesar US$ 600.
Pengacara publik di Korea Selatan Jong Chul-kim menyimpulkan kontrak kerja seperti itu bukanlah pekerjaan tapi perbudakan.
Berdasarkan kontrak kerja, kata Ricky, Effendi Pasaribu sudah bekerja di kapal Long Xing 629 sejak Januari 2019.
Satuan Tugas Tindak Pidana Orang Bareskrim Polri Rabu lalu (6/5) lanjutnya, sudah membuat laporan mengenai kematian empat ABK Indonesia yang bekerja di kapal Long Xin 629. Hanya saja mereka belum memperoleh bukti mengenai kasus itu.
Menlu: KBRI Seoul Sedang Urus Pemulangan Jenazah
Dalam jumpa pers secara virtual kemarin, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan pada 26 April 2020, KBRI Seoul mendapat informasi satu warga Indonesia berinisial EP (Effendi Pasaribu) sakit. Setelah dihubungi ke ke kamarnya, dia mengaku sudah sakit sesak napas dan batuk berdarah cukup lama. Atas permintaan KBRI Seoul, pihak agen telah membawa EP ke Busan Medical Center untuk pengawasan. Namun pada 27 April 2020 pukul 06:50 waktu setempat, EP dinyatakan meninggal di rumah sakit tersebut.
Dari surat keterangan kematiannya, EP meninggal karena pneumonia. KBRI Seoul saat ini dan Kementerian Luar Negeri sedang mengurus pemulangan jenazah EP. EP termasuk 15 awak kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal Long Xin 629.
Selain soal 46 awak kapal asal Indonesia tersebut, KBRI Seoul juga mendapat informasi mengenai meninggalnya ABK Indonesia lain di atas kapal, yang mayatnya sudah dilarung ke laut. Informasi ini diketahui dari pernyataan tertulis dari pihak kapal Tian Yu 8.
"Tanggal 26 Maret, AR sakit dan dipindahkan dari kapal Long Xin 629 ke kapal Tian Yu 8 untuk dibawa berobat ke pelabuhan. Kondisinya kritis dan pada 30 Maret 2020 pukul tujuh pagi, AR meninggal. Jenazah almarhum kemudian dilarung/diuburkan di laut lepas pada 31 Maret 2020 pukul delapan pagi," ujar Retno.
KBRI Seoul mendapat informasi pihak kapal Tian Yu 8 telah memberitahu pihak keluarga dan sudah mendapat surat persetujuan dari keluarga pada 30 Maret 2020 untuk menguburkan jenazah AR di laut lepas. Kerabat AR juga setuju menerima uang kompensasi kematian dari pihak kapal Tian Yu 8.
Kasus lainnya, menurut Retno, adalah kematian dua awak kapal asal Indonesia yang sedang berlayar di Samudera Pasifik. Keduanya bekerja di kapal Long Xin 629. Kedua jenazah itu sudah dilarung ke laut pada Desember 2019.
Keputusan untuk melarung dua mayat awak kapal asal Indonesia itu diambil oleh kapten kapal Long Xin 629 karena kematian mereka disebabkan oleh penyakit menular. Hal ini juga berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya.
Terkait kematian itu, KBRI di Beijing telah menyampaikan nota diplomatik untuk meminta klarifikasi atas kasus tersebut. Nota diplomatik ini sudah dijawab oleh Kementerian Luar Negeri China yang isinya pelarungan telah dilakukan sesuai praktek kelautan internasional dan sesuai ketentuan IMO (Organisasi Maritim Internasional).
Retno menegaskan pemerintah masih terus berupaya agar perusahaan kapal itu memenuhi hak-hak keempat ABK Indonesia yang telah meninggal. [fw/em]