Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Ilyas Pangestu mengatakan pemerintah Indonesia tidak cukup hanya memprotes ke Beijing dan memanggil agen. Kata dia, pemerintah harus mengusut tuntas penyebab kematian para ABK tersebut.
"Kita dorong pemerintah update terkait kasus ini. Jangan ditutup-tutupi. Kami siap mendukung pemerintah. Yang penting tujuan kita satu,” ujarnya dalam konferensi pers daring, Kamis (8/5) sore.
Empat WNI diduga tewas karena menjadi korban eksploitasi ketika bekerja di sejumlah kapal China. Mereka dipindah-pindahkan dari Long Xing 629, Long Xing 802, Long Xing 605, dan Tian Yu 08 yang semuanya dimiliki Dalian Ocean Fishing Co., Ltd..
Tiga ABK berinisial MA, S, dan A, sempat mengalami sakit kritis sebelum akhirnya meninggal berturut-turut dan dilarung ke laut. Ini diperkirakan terjadi dalam kurun September 2019 sampai Februari 2020.
Sementara 1 ABK berinisial EP dilaporkan meninggal pada April 2020 setelah menepi dan menjalani karantina di sebuah hotel di Busan, Korea Selatan.
Sebanyak 14 ABK Indonesia lainnya masih berada di Busan dan akan dipulangkan Jumat, 8 Mei, oleh pemerintah Indonesia.
Ilyas mengatakan, pengacara di Korea Selatan dan Indonesia telah berkoordinasi untuk memastikan hak-hak para ABK--seperti gaji--dipenuhi perusahaan. Pihaknya pun ingin Dalian Ocean Fishing masuk ke daftar hitam komunitas internasional.
“Teman-teman dari lawyer di Korea juga akan meneruskan sampai internasional. Kebetulan pihak Korea sudah berkoordinasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor. Jadi nanti semua support, kita kejar sampai ke lubang semut,” tegasnya.
Pemerintah Didesak Sempurnakan Perlindungan
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto Suwarno, berharap sikap pemerintah tidak sebagai pemanis belaka.
Dia tidak ingin kasus ini berakhir seperti kasus Gabon, Afrika—ketika 30 WNI jadi korban perdagangan orang pada 2018—dan sampai sekarang kasusnya belum selesai.
“Hanya konferensi pers, mengatakan bahwa pemerintah sudah memulangkan korban TPPO kemudian melibatkan kepolisian. Kita laporkan, sampai hari ini kesulitan untuk mendapatkan bukti lapor,” ujarnya.
Hari juga mendesak pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana dari UU 18/2017 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Peraturan itu akan menjadi acuan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja, dan Badan Penempatan dan Perlindungan TKI yang menurut Hari masih suka melakukan pingpong.
"Itulah yang harus dilakukan terlebih dahulu. Kalau tidak, ya ini akan lempar tanggung jawab. Coba sekarang bawa ke mana mana, kan saling lempar tanggung jawab. ‘Ini bukan ranah kami’ dan sebagainya,"
Melihat carut marutnya perlindungan terhadap ABK Indonesia, Hari mendorong pemerintah segera meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) no 188. Konvensi tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan itu, kata Hari, akan jadi bukti keseriusan pemerintah.
“Ini sangat penting sekali untuk menambah instrumen internasionalnya bahwa komitmen Indonesia telah meratifikasi Konvensi 188, itu dijadikan diplomasi ke negara luar,” tutur Hari.
Mewakili para pekerja perikanan, Ilyas mempertegas desakan ratifikasi Konvensi ILO tersebut.
“Sehingga pekerja-pekerja, anggota-anggota kita, pekerja migran laut di luar negeri mendapatkan kepastian hukum,” tutupnya. [rt/em]