Menyusul aksi 2 Desember 2016 di Jakarta, yang merupakan demonstrasi massa terbesar di Indonesia sejak berakhirnya kekuasaan diktator tahun 1998, Presiden Joko Widodo menghadapi sebuah dilema: haruskah ia bergabung dengan aksi itu atau menjauh?
Dua pejabat senior mengatakan kepada kantor berita Reuters, bahwa Presiden memilih untuk mengabaikan peringatan dari para petinggi keamanan dan pergi menuju tempat aksi, tampil di samping pemimpin kelompok garis keras Front Pembela Islam (FPI).
Langkahnya secara luas dipuji karena mendinginkan ketegangan yang telah berlangsung selama berminggu-minggu akibat pernyataan Gubernur Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, yang dianggap menista agama.
Namun para pengkritik khawatir keputusan Presiden bisa memberikan legitimasi kepada Islam politik aliran garis keras, sehingga berisiko bagi stabilitas sosial.
"(Presiden) Jokowi mungkin memiliki keuntungan taktis dalam jangka pendek. Namun pada jangka panjang, Jokowi, pemerintahannya dan polisi telah memainkan permainan yang berbahaya. Akibatnya, Islam politik telah dikooptasi oleh kelompok garis keras dan Muslim yang progresif telah dipinggirkan," ujar Tobias Basuki, analis di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta.
Kebangkitan Islam politik tahun ini telah dibarengi dengan kemunculan kembali sel-sel Islamis militan yang telah mengucap sumpah setia kepada Negara Islam (ISIS) dan telah terlibat dalam serangkaian serangan dan rencana yang digagalkan.
Banyak dari para jihadis itu diindoktrinasi pertama kali di masjid-masjid yang telah melahirkan kelompok-kelompok yang main hakim sendiri seperti FPI, yang ada di garis depan protes massal 2 Desember di Jakarta, menurut polisi kontraterorisme.
FPI bersikeras mereka bukan politis atau militan, namun hanya ingin menegakkan prinsip-prinsip Islam.
Komplotan Makar
Seorang pejabat pemerintah senior, yang menolak disebutkan namanya karena tidak berwenang berbicara kepada media, mengatakan Presiden awalnya enggan bergabung dengan pemimpin FPI Habib Rizieq di panggung.
Sebelum fajar terbit hari itu, polisi telah mengumpulkan sekelompok tokoh yang diduga berencana menggunakan aksi 212 itu untuk meluncurkan makar terhadap Presiden dengan memimpin para demonstran ke parlemen.
Pejabat tersebut, yang mendapat arahan dalam diskusi-diskusi antara Kapolri dan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Luhut Pandjaitan, mengatakan Rizieq ada dalam daftar asli 20 orang yang diduga akan melakukan makar. Polisi tidak dapat mengukuhkan adanya daftar tersebut.
Rizieq tidak ditahan, bahkan ia diizinkan memimpin aksi tersebut.
Luhut meminta polisi untuk menahan orang-orang yang kekuasaannya paling sedikit dalam daftar berisi 20 orang itu untuk mengirim pesan bahwa pemerintah tidak akan mentoleransi siapa pun yang mencoba mengeksploitasi ketegangan-ketegangan itu, ujar pejabat tersebut.
Luhut juga mendesak Presiden muncul dalam aksi untuk menghapus atmosfer permusuhan.
"Ia [Presiden] mengatakan tidak ingin terlihat berdiri... di atas panggung yang sama dengan Habib Rizieq, tapi Luhut mengatakan ini kesempatan untuk menunjukkan kepemimpinan yang nyata dan meredakan ketegangan," ujar seorang pejabat Istana.
Kantor Kepresidenan tidak merespon permintaan akan pernyataan.
Rizieq, 51, juga tidak dapat memberikan komentarnya.
Tim Lindsey, ahli undang-undang Indonesia di University of Melbourne, mengatakan Presiden Jokowi, barangkali sadar akan sejarah kelam negara ini dalam kerusuhan, lebih memilih menenangkan massa daripada mencegah kebangkitan Islam politik.
"Ini sekarang tentang 'massa', massa yang mudah dimanipulasi yang ada di jalanan, mimpi buruk bagi pemimpin politik mana pun di Indonesia mengingat peristiwa-peristiwa tahun 1998, ketika Soeharto mundur," ujar Lindsey. "Jokowi sekarang harus mengambil tindakan keras karena ia telah membiarkan situasi tidak terkendali." [hd]