Di India, jutaan rumah tangga miskin di pedesaan telah menggunakan energi yang lebih bersih di dapur mereka setelah pemerintah memberi subsidi untuk mendapat sambungan gas untuk memasak. Namun kenaikan harga bahan bakar menjadi tantangan bagi program yang bertujuan untuk menangani masalah kesehatan serius yang disebabkan polusi udara dalam ruangan.
Setelah memasak selama beberapa dekade dengan tungku dan kayu bakar, para perempuan di desa Sarmathia, India Utara, merasa senang ketika mereka mendapat sambungan gas untuk memasak lewat sebuah program yang disubsidi oleh pemerintah.
Namun kini tabung-tabung gas elpiji tersebut tidak digunakan karena banyak warga yang kembali menggunakan kayu bakar untuk memasak.
Santosh Devi, salah seorang warga mengatakan, "Semuanya menjadi sangat mahal, dan saya orang miskin. Sebagai pekerja upah harian, kami bahkan tidak menghasilkan hampir empat dolar. Jadi coba katakan pada saya, mana yang harus saya beli, makanan untuk anak-anak saya atau elpiji?."
Bagi kebanyakan warga, harga 13 dolar per satu tabung elpiji setelah serangkaian kenaikan harga tahun lalu, menjadi semakin tidak terjangkau. Mereka juga harus menghadapi kenaikan harga pangan yang tinggi dan berkurangnya pendapatan akibat pandemi. Terlepas dari subsidi pemerintah sebesar $2,5 per rumah tangga, gas elpiji tersebut tetap tidak terjangkau.
Paramwati, seorang warga desa mengatakan, "Saya menggunakan gas hanya untuk memasak sayur. Saya memasak lainnya di atas kayu bakar."
Ini merupakan kemunduran bagi sebuah program ambisius yang menyediakan sambungan gas elpiji bagi lebih dari 80 juta rumah tangga. Tujuan program tersebut adalah untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh asap yang berbahaya.
Abhishek Jain, dari Dewan Energi, Lingkungan dan Air, mengatakan, "Polusi udara dalam ruangan itu setara dengan seseorang yang merokok beberapa batang secara terus menerus. Perkiraan kasar memperlihatkan populasi India berkurang setengah juta setiap tahunnya akibat polusi udara dalam ruangan."
Para perempuan tersebut menjalani kehidupan sehari-harinya dengan polusi udara yang berdampak buruk terhadap kesehatan.
Paramwati, seorang warga desa mengatakan, "Saya batuk, saya sesak napas dan mengalami gangguan pernapasan. Saya kemudian mencoba memasak dengan kompor gas."
Keluhan lain disampaikan Manju Chhoker, "Memasak dengan tungku kayu bakar membuat saya batuk, mata saya perih dan saya tidak dapat bernapas."
Tidak saja warga miskin yang terkena dampak. Warga kelas menengah di desa tersebut juga mulai menghemat pemakaian gas elpiji.
Satyaprakash Rajput, seorang warga desa mengatakan, "Ini merupakan tantangan besar untuk mengatasi inflasi dan kenaikan harga bahan bakar untuk memasak. Ketika saya diberitahu ini waktunya untuk mengisi ulang tabung elpiji, saya merasa sangat khawatir."
Jumlah rumah tangga yang menggunakan bahan bakar bersih meningkat dari sekitar 30 persen menjadi 70 persen antara tahun 2011 dan tahun 2020.
Abhishek Jain dari Dewan Energi, Lingkungan dan Air, menambahkan, "Hal ini setidaknya telah menghentikan kemajuan, atau bahkan membuat mundur kemajuan tersebut. Jadi, kalau harga tidak diturunkan atau dibatasi melalui subsidi atau harga minyak global turun, kami tidak akan melihat rumah tangga yang beralih ke gas elpiji untuk memasak."
Itu berarti belum ada solusi dalam waktu dekat bagi para perempuan yang menghirup asap mematikan tersebut. [lj/uh]