Laju kenaikan jumlah penduduk Indonesia antara 2015-2023 memang melambat, tetapi jumlah penduduk saat ini hampir mencapai 280 juta jiwa. Selama ini program pengendalian jumlah penduduk utamanya ditekankan kepada perempuan, tetapi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menilai kini saatnya mendorong laki-laki untuk ikut serta lebih aktif dalam upaya ini. Salah satu di antaranya adalah dengan menerapkan program vasektomi gratis melalui pemberian insentif kepada laki-laki yang berkenan melakukannya.
Diwawancarai VOA, Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) mengatakan hanya kurang dari lima persen laki-laki di Tanah Air yang menggunakan alat kontrasepsi seperti kondom, atau melakukan vasektomi. Hal ini dikarenakan miskonsepsi bahwa vasektomi akan menimbulkan dampak pada kesehatan seksual laki-laki. Padahal faktanya bukan demikian.
“Kadang-kadang ada salah informasi, ada yang bilang kalau vasektomi ini seperti dikebiri, padahal beda banget. Kalau dikebiri itu testisnya diambil, kalau vasektomi tidak. Ini cuma mengikat saluran saja sehingga untuk laki-laki dan nanti akan tetap mengeluarkan cairan, tetapi cairan yang dikeluarkan tidak ada spermanya. Jadi sebetulnya seperti itu sehingga tidak ada efek samping, seperti misalnya kalau pakai obat kan saja suatu hari ada efek samping karena tidak cocok dengan obat,” jelasnya.
Edukasi dan sosialisasi, tambah Hasto, merupakan faktor penting untuk membuka mata kaum laki-laki mengenai arti pentingnya mengikuti program keluarga berencana untuk mengendalikan jumlah penduduk.
Selain itu, BKKBN juga membuat program vasektomi gratis dengan insentif.
“Oleh karena itu, kita memberikan semacam stimulan bahwa ini ada layanan vasektomi gratis, dokternya kami yang bayar, kemudian obat juga dari kami. Kemudian mereka yang melakukan vasektomi kita kasih uang saku Rp300.000,” kata Hasto.
Sebenarnya pemberian insentif bagi laki-laki yang mau melakukan vasektomi tersebut tidak hanya dilakukan oleh BKKBN saja. Ada beberapa kepala daerah yang bahkan memberikan insentif lain untuk mendorong program pengendalian jumlah penduduk ini. Menurut Hasto, hal ini mendapatkan respons yang cukup positif.
“Contoh, waktu saya menjadi bupati di Kulonprogo. Kalau mau vasektomi, saya berikan kambing satu ekor. Itu akhirnya berduyun-duyun, kita menargetkan hanya 26 pria misalnya, yang datang bisa 100 lebih karena istilahnya stimulan itu penting. Mereka ini sensitif terhadap pemberian modal seperti kambing, sehingga ini sebetulnya membangkitkan motivasi dan kesadaran untuk peran pria ber-KB,” jelasnya.
Pihak TNI/Polri, yang juga ikut melibatkan personelnya untuk program ini, ikut menjadi motivator program keluarga berencana bagi laki-laki tersebut. Saat ini jumlah laki-laki yang berkenan divasektomi mulai beranjak naik, dari nol koma persen menjadi sekitar 2,5 persen.
Mitos dan Budaya Patriarki Hambat Program Pengendalian Penduduk
Sosiolog di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa) Surabaya Anis Farida mengatakan ada dua faktor utama mengapa vasektomi tidak populer di Indonesia. Pertama, katanya, masih kuatnya mitos yang berseliweran di kalangan masyarakat bahwa vasektomi akan mengurangi tingkat kejantanan seorang laki-laki. Kedua, karena masih kentalnya budaya patriarki.
“Di mana laki-lakilah yang lebih berkuasa untuk menentukan, termasuk dalam hal ini, yaitu siapa yang harus menanggung beban untuk melakukan pencegahan terhadap kehamilan. Jadi akhirnya, perempuan yang kemudian diposisikan untuk menanggung beban tersebut. Kalau kita lihat hasil survei memang penggunaan vasektomi di Indonesia, tidak lebih tiga persen,” ungkap Anies.
BKKBN, tambahnya, harus berupaya keras mematahkan mitos tersebut dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya keikutsertaan laki-laki untuk menggunakan kontrasepsi.
“Ketika (mindset) banyak anak banyak rezeki masih kental, maka memang tidak mudah meyakinkan orang. Pada zaman orde baru dulu ada insentif diberikan kepada mereka yang mau melakukan KB dan itu juga lebih kepada perempuan beban untuk melakukan KB. Itu pun butuh waktu sangat panjang, dengan berbagai macam insentif, bahkan dalam tanda petik misalnya pegawai negeri ada tunjangan anak hanya untuk dua orang anak saja, kalau lebih itu di luar tanggungan,” jelasnya.
Satu faktor lain yang menurut Anis juga menjadi faktor penting tetapi sering dilupakan adalah pendidikan. Sedianya ada sosialisasi sejak pendidikan dasar tentang tanggung jawab bersama dalam mengendalikan jumlah penduduk, demi peningkatan kualitas keluarga dan bangsa di masa depan. [gi/em]
Forum