Ketika perusahaan yang terdaftar di Hong Kong, G-Resources Ltd, membuka tambang emas bernilai US$1 miliar di Indonesia Juli lalu, enam bulan lebih lambat dari jadwal, target hasil tambang diharapkan mencapai 250.000 ons, atau 2,5 ton, tahun depan.
Namun, kurang dari tiga bulan kemudian, perusahaan harus menghentikan operasi karena ratusan demonstran memblokir jalan masuk ke tambang Martabe di Sumatra Utara, karena konflik mengenai instalasi pipa pengeluaran air.
Perusahaan mulai memberhentikan 2.000 pekerja tambang, aset satu-satunya perusahaan, minggu ini.
“Ada kesalahpahaman yang menyebar, terkait peracunan air dan isu lain yang berhubungan dengan sungai,” ujar Peter Albert, direktur eksekutif G-Resources pada kantor berita Reuters.
Sebagai negara kelima yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia, diperkirakan mencapai 3.000 ton, Indonesia bersemangat untuk meningkatkan eksplorasi dan produksi seiring target ambisius untuk menjadi 10 ekonomi global teratas pada 2025.
Namun penambangan ilegal, politisasi antara pemerintah pusat dan daerah serta demonstrasi dan serangan dengan kekerasan terhadap pengusaha tambang baru menghambat perkembangan sektor ini dan dapat menghalangi investasi asing yang krusial.
“Ini adalah investasi pertambangan besar pertama dengan ukuran seperti ini di Indonesia dalam waktu lebih dari 10 tahun,” ujar Albert dari G-Resource, yang didukung oleh firma-firma investasi Mount Kellett Capital dann BlackRock Inc.
“Tidak dapat dihindari, ini akan membuat penambang emas menunda [investasinya]. Investor akan mengamati situasi dan bertanya apakah lingkungannya kondusif.”
Bagian yang Adil
Dorongan untuk membuka cadangan baru membawa perusahaan tambang ke dalam konflik dengan masyarakat lokal, yang mengeluhkan kerusakan lingkungan, hilangnya pekerjaan dan tidak adanya bagian dari keuntungan mineral yang diekstraksi dari tanah di daerah mereka.
“Mereka merasa bahwa mereka tidak mendapatkan manfaat darinya sehingga menolak rencana dari perusahaan,” Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan pada wartawan, menurut laporan mengenai konflik Martabe yang dipublikasikan oleh harian The Jakarta Post.
“Oleh karena itu, perusahaan harus memperbaiki pendekatan pada masyarakat.”
G-Resources tidak sendiri. Paling sedikit enam perusahaan tambang memiliki masalah serupa selama 18 bulan terakhir.
Dua orang tewas ketika penduduk desa dan mahasiswa/pelajar di kota Bima, Pulau Sumbawa, melakukan kerusuhan awal tahun ini – memaksa pemerintah untuk mencabut ijin eksplorasi untuk perusahaan gabungan Arc Exploration Limited, sebuah firma kecil yang terdaftar di bursa efek Australia.
Di Sumatra Utara, penjaga keamanan hanya dapat berdiri dan menyaksikan ratusan demonstran membakar banugnan di proyek yang dikelola oleh Sihayo Gold, perusahaan Australia.
“Tidak ada tuntutan yang spesifik, hanya bahwa ‘kami ingin kalian pergi dari sini’,” ujar direktur eksekutif Sihayo Paul Willis, seraya menambahkan bahwa para penambang liar telah menghasut massa.
“Situasi ini tidak seseram film horor. Ini tantangan yang memang harus dihadapi. Penggambaran yang paling tepat adalah: Inilah Indonesia.”
Sengketa Tanah
Dengan harga emas naik dari sekitar $300 satu ons 10 tahun lalu menjadi lebih dari $1.700 per ons saat ini, penambangan emas seharusnya masih menjadi prospek yang menarik, meski dengan adanya risiko yang ada.
Indonesia sudah menjadi produser emas terbesar ketujuh di dunia, dengan perusahaan tambang asing saat ini menguasai mayoritas produksi tahunan yang mencapai 111 ton pada 2011.
Namun sengketa tanah merupakan hal yang biasa di negara di mana industri pertambangan menyumbangkan 12 persen dari PDB.
“Ada tantangan yang dihadapi oleh semua perusahaan tambang di Indonesia, yaitu meningkatnya sentimen anti tambang atau pro-lingkungan,” ujar Anton Alifandi, analis wilayah Asia Tenggara untuk konsultan risiko bisnis Control Risks.
“Perusahaan pertambangan asing menghadapi masalah tambahan yaitu bahwa masyarakat atau pihak terkait suka memainkan kartu nasionalisme.”
Banyak orang Indonesia yang hidup di atau dekat areal tambang percaya mereka memiliki hak untuk menjarah lahan untuk mengambil mineral.
Meski pemerintah pusat telah melarang penambangan emas skala kecil, pejabat pemerintah lokal dan polisi seringkali memiliki kepentingan atau tutup mata terhadap praktik tersebut, yang menghasilkan pendapatan bagi ribuan keluarga miskin namun juga memberikan ancaman besar bagi kesehatan mereka dan lingkungan.
Taufik, 33, memulai karirnya sebagai penambang emas awal tahun ini, di pinggiran hutan Kalimantan.
“Saya datang ke sini untuk mendapat uang cepat,” ujarnya, sambil duduk di atas sepeda motor yang juga banyak digunakan oleh penambang lain.
“Namun pekerjaan ini lebih berat dari bertani di sawah di kampung halaman dan hasilnya tidak pasti.”
Produksi Merosot
Indonesia memproduksi 45,8 ton emas pada paruh pertama 2012, turun 23 persen dari periode yang sama tahun lalu karena gangguan hasil dan level bijih yang lebih rendah di tambang-tambang emas utama, menurut Thomson Reuters GFMS, perusahaan konsultan bidang logam.
Produksi emas pada 2012 sepertinya akan turun 14 persen, namun diharapkan akan kembali ke level 2011 tahun depan, tambah GFMS. Hasil tambang emas global mencapai 2.818 ton tahun lalu.
Angka hasil emas di Indonesia secara keseluruhan terutama karena penambang besar seperti Newcrest Mining, Newmont Mining Corp dan tambang emas dan tembaga raksasa Grasberg milik Freeport McMoRan Copper & Gold Inc di Papua Barat.
Freeport McMoRan, seperti sejumlah operator besar lainnya di Indonesia, menghabiskan jutaan dolar untuk pengembangan proyek seperti pembangunan jalan dan sekolah, namun seringkali terlibat dalam sengketa lokal.
Tambang Grasberg, yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia, mengalami pemogokan selama berbulan-bulan terkait pembayaran tahun lalu dan perusahaan yang berbasis di Arizona, AS, itu juga harus menghadapi persoalan gerakan spearatis yang telah lama ingin mendapatkan bagian sumber daya yang lebih besar.
Perusahaan tersebut memperkirakan bahwa sebanyak 6.000 orang, baik orang Papua maupun dari daerah lain, mendulang emas di sungai tailing dekat tambang atau hidup sekitar tambang.
“Itu residu yang keluar dari tempat peleburan emas kami, jadi residu yang tidak dapat diekstraksi lagi,” ujar Riza Pratama, manajer pertanggungjawaban sosial perusahaan pada Reuters awal tahun ini di Jakarta.
“Mereka menjualnya ke toko emas di Timika, jadi beberapa toko emas itu mendapatkan uang karenanya. Aktivitas ini sangat terorganisir.”
Untuk pemain yang lebih kecil, risiko-risiko yang timbul akibat peraturan yang tidak pasti, penambangan ilegal dan konflik lokal membuatnya lebih sulit untuk mempertahankan operasi, seperti yang dialami oleh G-Resources.
“Meski secara geologis wilayah ini menarik sebagai tempat produksi, masing-masing risiko meningkatkan biaya usaha dan risiko mempertahankan operasi,”ujar Mike Elliot, direktur pertambangan dan logam global di Ernst & Young. (Reuters/Michael Taylor dan Rujun Shen)
Namun, kurang dari tiga bulan kemudian, perusahaan harus menghentikan operasi karena ratusan demonstran memblokir jalan masuk ke tambang Martabe di Sumatra Utara, karena konflik mengenai instalasi pipa pengeluaran air.
Perusahaan mulai memberhentikan 2.000 pekerja tambang, aset satu-satunya perusahaan, minggu ini.
“Ada kesalahpahaman yang menyebar, terkait peracunan air dan isu lain yang berhubungan dengan sungai,” ujar Peter Albert, direktur eksekutif G-Resources pada kantor berita Reuters.
Sebagai negara kelima yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia, diperkirakan mencapai 3.000 ton, Indonesia bersemangat untuk meningkatkan eksplorasi dan produksi seiring target ambisius untuk menjadi 10 ekonomi global teratas pada 2025.
Namun penambangan ilegal, politisasi antara pemerintah pusat dan daerah serta demonstrasi dan serangan dengan kekerasan terhadap pengusaha tambang baru menghambat perkembangan sektor ini dan dapat menghalangi investasi asing yang krusial.
“Ini adalah investasi pertambangan besar pertama dengan ukuran seperti ini di Indonesia dalam waktu lebih dari 10 tahun,” ujar Albert dari G-Resource, yang didukung oleh firma-firma investasi Mount Kellett Capital dann BlackRock Inc.
“Tidak dapat dihindari, ini akan membuat penambang emas menunda [investasinya]. Investor akan mengamati situasi dan bertanya apakah lingkungannya kondusif.”
Bagian yang Adil
Dorongan untuk membuka cadangan baru membawa perusahaan tambang ke dalam konflik dengan masyarakat lokal, yang mengeluhkan kerusakan lingkungan, hilangnya pekerjaan dan tidak adanya bagian dari keuntungan mineral yang diekstraksi dari tanah di daerah mereka.
“Mereka merasa bahwa mereka tidak mendapatkan manfaat darinya sehingga menolak rencana dari perusahaan,” Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan pada wartawan, menurut laporan mengenai konflik Martabe yang dipublikasikan oleh harian The Jakarta Post.
“Oleh karena itu, perusahaan harus memperbaiki pendekatan pada masyarakat.”
G-Resources tidak sendiri. Paling sedikit enam perusahaan tambang memiliki masalah serupa selama 18 bulan terakhir.
Dua orang tewas ketika penduduk desa dan mahasiswa/pelajar di kota Bima, Pulau Sumbawa, melakukan kerusuhan awal tahun ini – memaksa pemerintah untuk mencabut ijin eksplorasi untuk perusahaan gabungan Arc Exploration Limited, sebuah firma kecil yang terdaftar di bursa efek Australia.
Di Sumatra Utara, penjaga keamanan hanya dapat berdiri dan menyaksikan ratusan demonstran membakar banugnan di proyek yang dikelola oleh Sihayo Gold, perusahaan Australia.
“Tidak ada tuntutan yang spesifik, hanya bahwa ‘kami ingin kalian pergi dari sini’,” ujar direktur eksekutif Sihayo Paul Willis, seraya menambahkan bahwa para penambang liar telah menghasut massa.
“Situasi ini tidak seseram film horor. Ini tantangan yang memang harus dihadapi. Penggambaran yang paling tepat adalah: Inilah Indonesia.”
Sengketa Tanah
Dengan harga emas naik dari sekitar $300 satu ons 10 tahun lalu menjadi lebih dari $1.700 per ons saat ini, penambangan emas seharusnya masih menjadi prospek yang menarik, meski dengan adanya risiko yang ada.
Indonesia sudah menjadi produser emas terbesar ketujuh di dunia, dengan perusahaan tambang asing saat ini menguasai mayoritas produksi tahunan yang mencapai 111 ton pada 2011.
Namun sengketa tanah merupakan hal yang biasa di negara di mana industri pertambangan menyumbangkan 12 persen dari PDB.
“Ada tantangan yang dihadapi oleh semua perusahaan tambang di Indonesia, yaitu meningkatnya sentimen anti tambang atau pro-lingkungan,” ujar Anton Alifandi, analis wilayah Asia Tenggara untuk konsultan risiko bisnis Control Risks.
“Perusahaan pertambangan asing menghadapi masalah tambahan yaitu bahwa masyarakat atau pihak terkait suka memainkan kartu nasionalisme.”
Banyak orang Indonesia yang hidup di atau dekat areal tambang percaya mereka memiliki hak untuk menjarah lahan untuk mengambil mineral.
Meski pemerintah pusat telah melarang penambangan emas skala kecil, pejabat pemerintah lokal dan polisi seringkali memiliki kepentingan atau tutup mata terhadap praktik tersebut, yang menghasilkan pendapatan bagi ribuan keluarga miskin namun juga memberikan ancaman besar bagi kesehatan mereka dan lingkungan.
Taufik, 33, memulai karirnya sebagai penambang emas awal tahun ini, di pinggiran hutan Kalimantan.
“Saya datang ke sini untuk mendapat uang cepat,” ujarnya, sambil duduk di atas sepeda motor yang juga banyak digunakan oleh penambang lain.
“Namun pekerjaan ini lebih berat dari bertani di sawah di kampung halaman dan hasilnya tidak pasti.”
Produksi Merosot
Indonesia memproduksi 45,8 ton emas pada paruh pertama 2012, turun 23 persen dari periode yang sama tahun lalu karena gangguan hasil dan level bijih yang lebih rendah di tambang-tambang emas utama, menurut Thomson Reuters GFMS, perusahaan konsultan bidang logam.
Produksi emas pada 2012 sepertinya akan turun 14 persen, namun diharapkan akan kembali ke level 2011 tahun depan, tambah GFMS. Hasil tambang emas global mencapai 2.818 ton tahun lalu.
Angka hasil emas di Indonesia secara keseluruhan terutama karena penambang besar seperti Newcrest Mining, Newmont Mining Corp dan tambang emas dan tembaga raksasa Grasberg milik Freeport McMoRan Copper & Gold Inc di Papua Barat.
Freeport McMoRan, seperti sejumlah operator besar lainnya di Indonesia, menghabiskan jutaan dolar untuk pengembangan proyek seperti pembangunan jalan dan sekolah, namun seringkali terlibat dalam sengketa lokal.
Tambang Grasberg, yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia, mengalami pemogokan selama berbulan-bulan terkait pembayaran tahun lalu dan perusahaan yang berbasis di Arizona, AS, itu juga harus menghadapi persoalan gerakan spearatis yang telah lama ingin mendapatkan bagian sumber daya yang lebih besar.
Perusahaan tersebut memperkirakan bahwa sebanyak 6.000 orang, baik orang Papua maupun dari daerah lain, mendulang emas di sungai tailing dekat tambang atau hidup sekitar tambang.
“Itu residu yang keluar dari tempat peleburan emas kami, jadi residu yang tidak dapat diekstraksi lagi,” ujar Riza Pratama, manajer pertanggungjawaban sosial perusahaan pada Reuters awal tahun ini di Jakarta.
“Mereka menjualnya ke toko emas di Timika, jadi beberapa toko emas itu mendapatkan uang karenanya. Aktivitas ini sangat terorganisir.”
Untuk pemain yang lebih kecil, risiko-risiko yang timbul akibat peraturan yang tidak pasti, penambangan ilegal dan konflik lokal membuatnya lebih sulit untuk mempertahankan operasi, seperti yang dialami oleh G-Resources.
“Meski secara geologis wilayah ini menarik sebagai tempat produksi, masing-masing risiko meningkatkan biaya usaha dan risiko mempertahankan operasi,”ujar Mike Elliot, direktur pertambangan dan logam global di Ernst & Young. (Reuters/Michael Taylor dan Rujun Shen)