Pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana berpendapat seharusnya pemerintah pusat berhak membeli saham-saham perusahaan asing tanpa harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Komentar Hikmahanto mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini yang menyatakan bahwa pemerintah pusat tidak diperkenankan membeli 7 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) senilai US$248,6 juta tanpa persetujuan DPR.
Hikmahanto mengatakan kinerja pemerintah jadi dihadapkan oleh keterbatasan-keterbatasan akibat kebijakan hukum yang diberlakukan tidak fleksibel. Namun, ia menambahkan, meski keputusan MK mengecewakan, yang terpenting adalah sebagai pengambil keputusan, DPR harus menyadari prinsip dasar bahwa kepemilikan saham perusahaan asing oleh pemerintah berarti pemerintah memiliki peluang besar dalam upaya menguasai kembali aset milik negara.
“Di dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, pemerintah harus menjalankan tugas itu dalam kondisi yang harus cepat. Yang penting adalah dari DPR itu sudah menyetujui secara garis besarnya, pelaksanaannya silahkan pemerintah,” ujarnya pada Jumat (3/8).
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung, mengatakan yang dibutuhkan dalam kerjasama antara pemerintah dengan perusahaan asing adalah keunggulan berdiplomasi. Ia menilai dalam kasus penguasaan 7 persen saham Newmont yang terus memuculkan pro kontra, yang harus diutamakan adalah semangat menguasai kembali aset-aset negara yang selama ini dikuasai pihak asing terutama dalam industri tambang dan energi. Ia optimistis para profesional yang berasal dari dalam negeri mampu mengelola sumber daya alam yang berada di dalam negerinya sendiri.
”Kalau renegosiasi posisi kita lemah maka yang namanya investor juga tidak akan memberikan apa-apa. Kalau berbicara mengenai kemampuan, teknologi dan sebagainya saya yakinlah banyak putra-putra Indonesia yang sekarang ini mampu menambang yang tidak kalah dengan mereka,” ujar Pramono.
Menurut pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, gagalnya pemerintah pusat membeli saham Newmont adalah karena tidak sinerginya pemikiran antara pemerintah pusat dan daerah. Ia mengatakan Indonesia agar Indonesia mampu menguasai aset-aset negara yang berada di berbagai wilayah, pemerintah pusat dan daerah harus kompak.
“Bagaimana sinergi, koordinasi, komunikasi antar jenjang pemerintahan yaitu antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota bisa memadupadankan akselarasi pembangunan,” ujarnya.
Hingga saat ini Badan Anggaran DPR belum berkomentar mengenai apakah lembaga tersebut akan memberi izin pemerintah pusat membeli saham Newmont dengan menggunakan anggaran negara, atau justru meminta pemerintah pusat memberi kesempatan pada pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat untuk kembali menguasai sisa saham Newmnot.
Sejak 2009, Newmont harus menjual 31 persen saham ke pemerintah Indonesia sesuai kontrak karya. Pemda NTB sudah menguasai 24 persen saham Newmont senilai $883 juta lewat perusahaan gabungan dengan perusahaan milik Bakrie Group.
Komentar Hikmahanto mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini yang menyatakan bahwa pemerintah pusat tidak diperkenankan membeli 7 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) senilai US$248,6 juta tanpa persetujuan DPR.
Hikmahanto mengatakan kinerja pemerintah jadi dihadapkan oleh keterbatasan-keterbatasan akibat kebijakan hukum yang diberlakukan tidak fleksibel. Namun, ia menambahkan, meski keputusan MK mengecewakan, yang terpenting adalah sebagai pengambil keputusan, DPR harus menyadari prinsip dasar bahwa kepemilikan saham perusahaan asing oleh pemerintah berarti pemerintah memiliki peluang besar dalam upaya menguasai kembali aset milik negara.
“Di dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, pemerintah harus menjalankan tugas itu dalam kondisi yang harus cepat. Yang penting adalah dari DPR itu sudah menyetujui secara garis besarnya, pelaksanaannya silahkan pemerintah,” ujarnya pada Jumat (3/8).
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung, mengatakan yang dibutuhkan dalam kerjasama antara pemerintah dengan perusahaan asing adalah keunggulan berdiplomasi. Ia menilai dalam kasus penguasaan 7 persen saham Newmont yang terus memuculkan pro kontra, yang harus diutamakan adalah semangat menguasai kembali aset-aset negara yang selama ini dikuasai pihak asing terutama dalam industri tambang dan energi. Ia optimistis para profesional yang berasal dari dalam negeri mampu mengelola sumber daya alam yang berada di dalam negerinya sendiri.
”Kalau renegosiasi posisi kita lemah maka yang namanya investor juga tidak akan memberikan apa-apa. Kalau berbicara mengenai kemampuan, teknologi dan sebagainya saya yakinlah banyak putra-putra Indonesia yang sekarang ini mampu menambang yang tidak kalah dengan mereka,” ujar Pramono.
Menurut pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, gagalnya pemerintah pusat membeli saham Newmont adalah karena tidak sinerginya pemikiran antara pemerintah pusat dan daerah. Ia mengatakan Indonesia agar Indonesia mampu menguasai aset-aset negara yang berada di berbagai wilayah, pemerintah pusat dan daerah harus kompak.
“Bagaimana sinergi, koordinasi, komunikasi antar jenjang pemerintahan yaitu antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota bisa memadupadankan akselarasi pembangunan,” ujarnya.
Hingga saat ini Badan Anggaran DPR belum berkomentar mengenai apakah lembaga tersebut akan memberi izin pemerintah pusat membeli saham Newmont dengan menggunakan anggaran negara, atau justru meminta pemerintah pusat memberi kesempatan pada pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat untuk kembali menguasai sisa saham Newmnot.
Sejak 2009, Newmont harus menjual 31 persen saham ke pemerintah Indonesia sesuai kontrak karya. Pemda NTB sudah menguasai 24 persen saham Newmont senilai $883 juta lewat perusahaan gabungan dengan perusahaan milik Bakrie Group.