Meski aturan baru itu diberlakukan mulai 17 Oktober, namun mereka yang belum melakukan sertifikasi tidak akan dikenai sanksi karena penerapannya diberlakukan secara bertahap hingga 5 tahun ke depan, yakni 17 Oktober 2024. Pemberlakuan sertifikasi halal itu baru dikhususkan untuk produk makanan dan minuman, serta produk dan jasa terkait keduanya. Sementara untuk produk lainnya seperti obat dan kosmetik belum diberlakukan.
Berdasarkan Undang-undang No.33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal, saat ini BPJPH – yang berada di bawah Kementerian Agama – merupakan badan yang mengeluarkan sertifikasi halal, menggantikan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM-MUI).
LPPOM-MUI tetap menjadi badan pemeriksa halal dan MUI masih tetap memiliki kewenangan dalam menentukan halal atau tidaknya suatu produk. Fatwa kehalalan masih menjadi kewenangan MUI.
GAPPMI: Pendaftaran Sertifikasi Halal Secara Online di BPJPH Belum Siap
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gappmi) Adhi S.Lukman, Jumat (18/10) mengatakan saat ini pendaftaran di BPJPH belum siap dengan sistem online. Walhasil para pelaku usaha yang ingin melakukan sertifikasi halal harus memasukkan secara manual permohonan sertifikasinya.
Sementara pemeriksaan halalnya tetap dilakukan LPPOM-MUI karena saat ini baru lembaga tesebut yang ada. Adhi meminta kepada pemerintah agar jangan ada penindakan hukum sebelum proses persiapan infrastruktur, sistem dan lain sebagainya itu lengkap.
Pihaknya lanjut Adhi hingga kini juga masih menunggu dirilisnya peraturan menteri keuangan yang mengatur lebih detail mengenai mekanisme hingga biaya sertifikasi halal.
Menurut Adhi, kewajiban sertifikasi halal ini memberatkan usaha kecil dan menengah.
“Pertama sertifikasi halal tidak sekedar sertifikat. Di sana harus ada sistem jaminan halal yang harus dibangun di dalam internal perusahaan. Harus ada internal auditor halal kemudian sistem harus dijaga sepanjang proses produksi dari awal sampa akhir, tidak boleh ada masalah. Bagi industri kecil dan rumah tangga tentu sistem ini cukup berat, tidak mudah,” kata Adhi.
Menurut Adhi, ada sekitar 1,6 juta produk pangan dari pelaku UMKM. Mayoritas dari pelaku UMKM diperkirakan belum mempunyai sertifikat halal.
Dalam Undang-undang Jaminan Produk Halal, pembiayaan sertifikasi halal pelaku usaha mikro dan kecil dapat difasilitasi oleh pihak lain, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga perusahaan dan asosiasi. Namun Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro dan Kecil Menengah Hermawati ragu pemerintah akan turun tangan dalam pembiayaan itu.
Sebelumnya diketahui, biaya sertifikasi yang diterapkan LPPOM-MUI terdiri dari biaya administrasi sekitar 1 juta rupiah, ditambah biaya proses sertifikasi yang besarannya bervariasi, tergantung produk.
Sementara proses yang harus dilakukan para pengusaha jika ingin melakukan sertifikasi diawali dengan pengajuan permohonan sertifikasi halal ke BPJPH oleh pelaku usaha, kemudian lembaga itu akan menunjuk lembaga pemeriksa halal (LPH) di mana nanti LPH akan dibentuk di seluruh Indonesia. Hingga saat ini yang siap baru LPPOM-MUI.
LPH kemudian melakukan pemeriksaan dan melaporkan ke BPJPH. Setelah BPJPH menerima laporan itu, badan tersebut akan mengajukan fatwa ke MUI. Dan setelah itu MUI akan melakukan sidang fatwa. Jika memenuhi syarat halal, fatwa halal akan dikirim ke BPJPH dan setelah itu BPJPH mengeluarkan sertifikat halal. Perusahaan dapat segera mengajukan ijin untuk mencantumkan logo halal yang sudah disetujui BPJPH ke BPOM.
Juru bicara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Hartono, menyatakan sertifikasi hanya diwajibkan bagi produsen yang mengklaim produk mereka halal.
Sementara, bagi pengusaha produk yang mengandung unsur haram – menurut syariat Islam – seperti babi atau alkohol, mendapat pengecualian. Meski demikian, produk-produk yang dinilai haram itu harus mencantumkan keterangan tidak halal.
Ombudsman Nilai Kunci Pemberlakuan UU Jaminan Produk Halal ada di Kemenag
Komisioner Ombudsman Ahmad Suaedy menilai kesiapan Kementerian Agama terkait pemberlakuan UU jaminan produk halal terutama soal sertifikasi halal masih belum maksimal.
“Menurut kami yang baru siap BPJPH di pusat. LPH belum ada artinya yang didirikan seteah BPJPH ada, juga auditornya. Tarifnya juga belum ada karena itu harus dikeluarkan oleh Kementeian Keuangan,” kata Suaedy.
Undang-undang Jaminan Produk Halal diundangkan ketika era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 Oktober 2014. Namun berdasarkan UU tersebut efektifitas pemberlakuan dilakukan lima tahun setelah aturan tersebut diundang-undangkan.
Meski telah diberi waktu lima tahun untuk mempersiapkan, sejumlah kalangan menilai pemerintah masih lamban membuat aturan yang rinci dan infrastruktur pelaksanaan yang lengkap; salah satunya soal lembaga pemeriksa halal yang sedianya sudah tersebar di seluruh Indonesia. Saat ini hanya baru satu yaitu LPPOM-MUI. (fw/em)