Dengan suara yang tenang dan intonasi jelas, Abdul Azis membacakan surat pernyataan yang sudah ditandatangani. Di sampingnya, duduk Direktur Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, Noorhaidi Hasan dan dua promotor, Khoirudin Nasution serta Sahiron.
Pertemuan di aula Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga pada Selasa (3/9) sore menjadi penutup kontroversi disertasi Abdul Azis yang berjudul “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual non-Marital.”
“Saya minta maaf kepada umat Islam atas kongtroversi yang muncul karena disertasi saya ini. Saya juga menyampaikan terima kasih atas saran, respon, dan kritik terhadap disertasi ini dan terhadap keadaan yang diakibatkan oleh kehadirannya dan diskusi yang menyertainya,” kata Abdul Azis.
Ini adalah pekan yang sangat berat bagi Abdul Azis. Sejak mempertahankan disertasinya di depan penguji pada Rabu (28/8) lalu, dia tidak pernah sepi dari pemberitaan. Televisi nasional bahkan menggelar siaran langsung diskusi mengenai topik yang mengundang kontroversi itu.
Bagaimana tidak, dalam disertasi, Abdul Azis memaparkan, bahwa ada celah di mana hubungan seksual tanpa nikah bisa halal, asal syaratnya terpenuhi. Syarat itu adalah tidak dilakukan di tempat terbuka, tidak dengan perempuan bersuami, bukan hubungan sesama jenis dan tidak inses.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat bahkan merasa perlu mengeluarkan pernyataan resmi terkait polemik tersebut.
Permintaan maaf Abdul Azis mengakhiri semua kontroversi. Dia juga akan melakukan revisi disertasi, sesuai petunjuk promotor serta masukan para penguji.
“Tentu saya sendiri harus bertanggung jawab secara moral terhadap temuan-temuan saya. Saya kira revisi ini sudah biasa, mulai dari ujian proposal terus sampai akhir, memang sudah biasa ada revisi,” ujarnya seraya menekankan bahwa tidak ada tekanan dari kampus.
“Tetapi kalau memang ada hal-hal yang sifatnya akademis belum memenuhi syarat, ya kita terima. Karena bagaimanapun di atas kebebasan saya, masih ada promotor,” kata Abdul Azis.
Ketika ditanya apakah konsep mengenai kehalalan hubungan seksual di luar pernikahan akan dihapus dalam disertasi yang direvisi, Abdul Azis tidak menjawab langsung pertanyaan tersebut. Dia mengatakan hal itu tergantung diskusi bersama para promotor disertasi. Dia akan mengikuti dialektika yang berkembang.
Abdul Azis menegaskan, apa yang disampaikan dalam disertasinya bukanlah sebuah doktrin. Bukan pula persoalan keyakian. Karena itu, jika memang tidak komprehensif menurut promotor dan penguji, Abdul Azis mengaku bisa menerima.
“Saya akan revisi secepatnya. Kita sendiri kalau terlalu lama juga tersiksa,” tambahnya sambil tertawa.
Berulang kali Abdul Azis menegaskan dia memiliki tanggung jawab moral atas disertasinya. Apalagi jika semua ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Pernyataan lain yang patut dicatat dari Abdul Azis adalah tidak semua kebenaran ilmiah bisa diterima dan bahwa dia tunduk pada wewenang akademik di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga.
Direktur Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Noorhaidi Hasan menampik, revisi atas disertasi ini menodai kebebasan akademik yang dijamin di kampus.
“Ini bukan soal kebebasan akademis. Kalau membatasi kebebasan, orang tidak akan bisa melakukan kajian analisis kritis terhadap Syahrur. Dia bisa, kok. Tetapi jangan terlalu jauh. Misalnya sampai ke urusan menyarankan ini dipakai. Saya selalu pesan, sebagai peneliti saja, tidak usah menjadi aktivis,” kata Noorhaidi.
Batasan peneliti, menurut Noorhaidi adalah kepatuhan pada standar akademik. Standar itu membatasi peneliti untuk mencari jawaban dari pertanyaan apa, bagaimana dan mengapa.
Karena itu, menurut Noorhaidi, yang seharusnya dilakukan Abdul Azis adalah meneliti apa pemikiran Syahrur, bagaimana Syahrur mengembangkan pemikiran itu dan mengapa dia berpikir begitu. Konteks historis, politik, dan kultural masyarakat Arab mungkin menjelaskan mengapa Syahrur berkesimpulan seperti itu. Pada batasan itulah, kata Noorhaidi, kajian bisa dilakukan Abdul Azis.
Lanjut Noorhaidi, sebagai peneliti Abdul Azis tidak perlu masuk ke ranah penerapan. Masalah akan berbeda ketika Abdul Azis sudah menyelesaikan program doktor, kemudian mengembangkan tulisan-tulisan baru dari disertasi yang disusunnya. Dalam posisi itu, dia berhak untuk mengenalkan konsep tersebut pada masyarakat.
“Saya kira kesimpulan Pak Abdul Azis tidak akademik. Disertasinya dilindungi secara akademik mungkin, tetapi kesimpulan-kesimpulan itu tidak akademik. Saya menuntut dikembalikan ke rel akademik,” tambah Noorhaidi.
Di mata Noorhaidi, Muhammad Syahrur sendiri adalah pemikir Islam yang kontroversial. Dia memiliki gagasan yang unik sekaligus kontroversial. Sebagai sebuah gagasan, pemikiran itu memperkaya wacana diskusi keilmuan. Kajian bisa dilakukan, tetapi mengaitkannya dengna situasi kekinian, membuatnya problematik.
Dewan Pimpinan MUI sendiri telah mengeluarkan pernyataan tertulis pada Selasa (3/9) yang ditandatangani Wakil Ketua Umum Yunahar Ilyas dan Sekjen Anwar Abbas. MUI menilai, disertasi Abdul Azis bertentangan dengan Alquran dan as Sunah serta kesepakatan ulama, bahkan termasuk pemikiran yang menyimpang.
Konsep hubungan seksual non-marital juga tidak sesuai diterapkan di Indonesia. MUI beralasan, hal itu mengarah pada praktik seks bebas.
MUI berpendapat, praktik hubungan seksual non marital dapat merusak sendi kehidupan keluarga. Karena itu, MUI meminta masyarakat untuk tidak mengikuti pendapat tersebut. Lembaga ini juga menyesalkan promotor dan penguji disertasi yang tidak memiliki kepekaan perasaan publik, dengan meloloskan dan meluluskan disertasi tersebut. [ns/ft]