Islam dengan tegas melarang hubungan seks di luar pernikahan. Hukum itu berlaku dan dipahami seluruh muslim di dunia. Mayoritas agama lain juga memberlakukan aturan yang sama.
Namun, sebuah disertasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, memaparkan sebaliknya. Ada celah di mana hubungan seks tanpa menikah atau non marital bisa dianggap halal. Disertasi yang berjudul “Konsep Milk Al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital” itu disusun oleh Abdul Azis, pengajar di UIN Surakarta.
Dihubungi VOA, Abdul Azis menjelaskan, hubungan seks di luar nikah bisa dianggap halal menurut konsep Muhammad Syahrur, apabila memenuhi empat syarat.
“Jadi hubungan seksual non marital boleh, dengan catatan tidak dilakukan di tempat terbuka. Tidak dengan perempuan bersuami. Kemudian bukan secara homo dan bukan inses. Selebihnya boleh,” kata Abdul Azis.
Muhammad Syahrur adalah pemikir Islam dari Suriah. Konsep itu merupakan salah satu buah pikirannya, yang didasari keinginan menempatkan hubungan seks sebagai bagian dari hak asasi manusia. Karena itu, menurut Syahrur, seseorang tidak boleh dihukum hanya karena melakukan hubungan seks tanpa ikatan pernikahan.
Hubungan Seks Sebagai HAM
Senada dengan Syahrur, Abdul Azis menyusun penelitian untuk program doktor ini dengan latar belakang yang sama.
Kepada VOA, dia mengaku prihatin dengan realitas adanya krimininalisasi dan stigmatisasi terhadap hubungan seksual non-marital, baik di Indonesia maupun negara muslim lain. Menurutnya, semua itu berawal dari hukum agama yang hanya melegalkan hubungan seksual marital, dan hubungan seksual tanpa pernikahan dianggap kejahatan. Negara kemudian mengadopsi nilai-nilai itu dan memasukkannya ke dalam hukum nasional.
Dijelaskan Azis, konsep milk al yamin didasarkan pada hubungan perbudakan di masa lalu. Ketika itu, seorang pemilik budak dapat berbungan seks dengan istrinya, dan juga sah melakukan itu dengan budak perempuannya. Karena saat ini perbudakan telah dihapus, pembolehan berhubungan seks tanpa menikah dengan budak itu, diadopsi dengan bentuk baru, yaitu hubungan seks tanpa paksaan, dengan syarat tidak melanggar empat ketentuan tadi. Konsep ini, kata Azis, dapat direkomendasikan untuk pembaruan hukum Islam, baik di Indonesia maupun negara lain.
“Nanti tidak ada lagi kasus perajaman seperti di Aceh tahun 1999, perajaman di Ambon 2001. Tidak terjadi penggeberekan di hotel hanya karena tidak punya surat akta nikah karena bukan pasangan resmi. Tidak ada semua itu, karena tindakan seperti itu melanggar hak asasi manusia,” tambah Azis.
Agama lain, diakui Azis memiliki aturan yang sama dengan Islam dalam hal ini. Karena itu menurutnya, perlu kajian serupa untuk mengubah hukum agama-agama lain itu, dalam hubungan seksual non marital ini.
“Subtansinya bahwa hubungan seksual non-marital bukan kriminal, bukan kejahatan. Ini bukan persoalan akan mendorong orang melakukan seks bebas atau tidak, tetapi mengembalikan hubungan seksual ini sebagai hak asasi,” ujar Azis.
Penafsiran Problematik
Akademisi di UIN Sunan Kalijaga memandang penafsiran yang dipaparkan Abdul Azis, problematik. Begitu juga dengan konsep itu sendiri yang diambil dari pemikiran Muhammad Syahrur. Sebuah sesi penjelasan khusus dibuat oleh UIN Sunan Kalijaga, untuk menjernihkan masalah ini. Sahiron, misalnya, yang menjadi promotor dalam disertasi ini menilai, subyektifitas penafsir berlebihan.
“Penafsiran itu dipengaruhi wawasannya tentang tradisi, kultur dan hukum keluarga di negara- negara lain. Subyektifitasnya yang berlebihan ini kemudian memaksa ayat-ayat Al Quran, agar sesuai pandangannya,” kata Sahiron.
Khoirudin Nasution, yang juga menjadi promotor disertasi menilai, konsep tersebut tidak dapat diaplikasikan di Indonesia. Dilihat latar belakangnya, Syahrur melahirkan kajian ini karena melihat penerapan hukum atas perbuatan zina yang begitu mudah. Misalnya, dua orang yang tertangkap dan dianggap melakukan zina, kemudian dihukum cambuk di Aceh. Padahal, Islam menerapkan proses yang sangat sulit untuk mengkategorikan sebuah perbuatan ke dalam zina. Syahrur kemudian mengkaji konsep milk al yamin untuk mencegah penerapan hukum zina semacam itu.
“Penerapan hukuman ini oleh Syahrur terkesan digampangkan. Dia seperti ingin mengatakan, bahwa ini tidak boleh dilakukan. Sehingga dia mencari konsep yang bisa digunakan dan ketemulah konsep milk al yamin itu. Tetapi itu tidak komprehensif, terlalu simplisistik. Penafsirannya parsial, tidak mengkontekskan dengan masalah perkawinan,” kata Khoirudin.
Merugikan Perempuan
Sementara itu, dari sisi perspektif kesetaraan gender, konsep pelegalan hubungan seksual di luar pernikahan ini juga problematik. Alimatul Qibtiyah, dosen di UIN Sunan Kalijaga yang menjadi penguji desertasi ini, memandang kajian ini seolah-olah menempatkan perempuan hanya sebagai pemuas seksual saja.
“Kajian ini tidak melihat dampak yang ditimbulkan terhadap istri pertama, kesehatan reproduksi, hak-hak anak dan hak-hak perempuan. “Pernikahan” non marital yang diprediksi akan mengurangi praktik poligami sehingga perempuan terlindungi, sebenarnya justru menimbulkan ketidakadilan dalam bentuk lain, yaitu legalitas perselingkuhan,” kata Qibtiyah.
Pakar lain, Euis Nurlailawati, yang juga menjadi, penguji menilai pemikiran Syahrur terkait milk al yamin lemah argumennya dan tidak konsisten. “Perlindungan terhadap perempuan yang dia ingin realisasikan, malah merendahkan perempuan,” ujar Euis.
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi, menilai kajian atas konsep milk a yamin ini sebenarnya cukup berbahaya. Jika dibenarkan, artinya sama saja dengan perombakan hukum perkawinan yang bisa dilakukan tanpa syarat. Sebagai peneliti, Abdul Azis telah melakukan penelitian secara obyektif dan sesuai dengan aturan akademik. Namun ada banyak catatan yang diberikan oleh promotor maupun penguji, agar Abdul Azis memperbaiki hasil penelitian ini agar lebih komprehensif.
Untuk bisa diberlakukan, kata Yudian, pemahaman Syahrur mengenai milk al yamin itu harus dipraktikkan dengan proses akad nikah, wali, saksi dan mahar. Dalam konteksi Indonesia, usulan itu harus disetujui oleh MUI dan dikirimkan ke DPR agar bisa menjadi undang-undang. Tanpa semua itu, kata Yudian, pemikiran Syahrur tidak dapat diterapkan di Indonesia.
“Kita menyarankan kepada yang bersangkutan untuk memperbaiki poin-poin yang dianggap bisa menimbulkan masalah, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Dia jangan memaksakan penafsiran ini sebagai suatu kebenaran. Ini harapan kami. Tetapi kalau dia nekat, ya kami tidak ada-apa. Mungkin dia akan berhadapan dengan pihak lain,” kata Yudian.
Abdul Azis sendiri telah melewati ujian doktoral pada Rabu (28/8) dengan nilai sangat memuaskan. UIN Sunan Kalijaga memastikan, di luar temanya yang kontroversial, secara akademik Abdul Azis telah menjalani program doktoralnya dengan baik. Kampus menghargai proses itu, dan memberikan penilaian secara obyektif. [ns/ft]