Ukraina melarang penggunaan aplikasi perpesanan Telegram pada perangkat resmi yang digunakan oleh pejabat pemerintah, personel militer, dan tenaga kerja penting. Keputusan tersebut diambil karena keyakinan bahwa Rusia, musuhnya, dapat memata-matai pesan dan pengguna, menurut pernyataan badan keamanan tinggi pada Jumat (20/9).
Pernyataan itu mengatakan Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional mengumumkan pembatasan tersebut setelah Kyrylo Budanov, Kepala Badan Intelijen militer GUR Ukraina, memberikan bukti kepada dewan tentang kemampuan layanan khusus Rusia untuk memata-matai platform tersebut.
Namun Kepala Pusat Penanggulangan Disinformasi Dewan Keamanan Andriy Kovalenko, memposting di Telegram bahwa pembatasan tersebut hanya berlaku untuk perangkat resmi pemerintah, bukan telepon pribadi.
Telegram banyak digunakan di Ukraina dan Rusia. Aplikasi itu menjadi sumber informasi penting sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.
Namun pejabat keamanan Ukraina berulang kali menyuarakan kekhawatiran tentang penggunaannya selama perang.
Telegram didirikan oleh Pavel Durov, pria kelahiran Rusia, yang meninggalkan negaranya pada 2014 setelah menolak permintaan untuk menutup komunitas oposisi di VKontakte, platform media sosial yang telah ia jual.
Durov ditangkap saat mendarat di Prancis pada Agustus sebagai bagian dari penyelidikan atas kejahatan yang terkait dengan pornografi anak, perdagangan narkoba, dan transaksi penipuan di Telegram.
Dalam pernyataannya, Dewan Keamanan mengungkapkan bahwa Budanov memberikan bukti yang menunjukkan bahwa layanan khusus Rusia mampu mengakses pesan Telegram, termasuk pesan yang telah dihapus, serta informasi pribadi pengguna.
"Saya selalu mendukung dan terus mendukung kebebasan berbicara, tetapi masalah Telegram bukanlah masalah kebebasan berbicara, ini adalah masalah keamanan nasional," kata Budanov dalam pernyataannya sendiri.
Setelah keputusan itu diumumkan, Telegram mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah mengungkapkan data siapa pun atau isi pesan apa pun.
"Telegram tidak pernah memberikan data pesan apa pun ke negara mana pun, termasuk Rusia. Pesan yang dihapus akan dihapus selamanya dan secara teknis tidak mungkin dipulihkan," kata Telegram.
Telegram menyatakan bahwa setiap insiden yang disebut sebagai "pesan yang bocor" sebenarnya adalah hasil dari perangkat yang telah disusupi, baik karena disita atau terkena malware.
Menurut basis data Telemetrio, sekitar 33.000 saluran Telegram aktif di Ukraina.
Presiden Volodymyr Zelenskyy, yang juga berada di dalam jajaran dewan keamanan, serta komandan militer dan pejabat daerah dan kota semuanya selalu memberikan informasi tentang perang dan melaporkan keputusan penting melalui Telegram.
Media Ukraina memperkirakan bahwa 75 persen warga Ukraina menggunakan aplikasi tersebut untuk berkomunikasi, dan 72 persen menganggapnya sebagai sumber informasi utama hingga akhir tahun lalu. [ah/ft]
Forum