Indonesia menggalakkan program produksi biodisel secara agresif dalam beberapa tahun terakhir. Untuk memproduksi minyak solar, ditetapkan rasio campuran yang terus naik antara solar dan bahan bakar nabati. Setelah B20 tahun lalu, kini pemerintah menetapkan biodisel B30, yang mengharuskan campuran 70 persen solar dan 30 persen nabati. Agar program ini berjalan, ada gelontoran dana subsidi bagi produsen.
Sampai tahun ini, insentif yang diberikan mencapai Rp 30,2 triliun. Karena pandemi, pemerintah bahkan mengucurkan dana tambahan Rp 2,78 triliun. Insentif diberikan karena produsen masih harus menanggung biaya lebih tinggi untuk memproduksi biodisel. Dana itu diserahkan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)
Namun, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto menyatakan, dana besar itu hanya dinikmati korporasi sawit besar.
“Mereka punya industri hilinya, dan juga mereka kebun sawit-nya. Jadi ini merupakan monopoli para konglomerat sawit. Kemudian juga bahan baku industri biodisel ini sebagian dari perusahaan asing Malaysia. Mengapa mereka lebih penting daripada petani?” tanya Darto.
Mansuetus Darto menyampaikan itu ketika menjadi pembicara diskusi daring “Monopoli Mata Rantai oleh Industri Biodisel dalam Program B30.” Diskusi diselenggarakan SPKS pada Sabtu (14/8) dan diikuti kelompok petani sawit dari sejumlah daerah di Indonesia.
Daerah Seharusnya Dilibatkan
Dominasi korporasi besar ini, kata Darto, sudah dimulai sejak penetapan nama pejabat di Dewan Pengawas BPDPKS. Tiga nama yang duduk di dalamnya adalah pemilik usaha perkebunan sawit raksasa.
Darto memaparkan data, bahwa dana insentif B30 bahkan juga mengalir ke perusahaan asing. Darto mengambil contoh salah satu penerima insentif yang mengambil pasokan kelapa sawit dari 83 perusahaan yang terbagi dalam 34 grup usaha. Dari 34 grup usaha itu, empat diantaranya adalah grup usaha asal Malaysia. Darto mempertanyakan, mengapa petani sawit kecil justru tidak masuk dalam skema pasokan bagi pemenuhan progran B30 tersebut.
Darto meminta presiden melakukan evaluasi, untuk mengurangi pengaruh korporasi besar dalam BPDPKS. Lembaga negara seperti BPK dan KPK juga harus melakukan audit pemanfaatan dana insentif itu. Lebih baik lagi, jika perwakilan pemerintah daerah dimana lokasi perkebunan sawit banyak berada, dilibatkan dalam pengelolaan dan pengawasan triliunan uang tersebut. Selain itu, tambah Darto, petani sawit kecil harus dilibatkan.
“Terakhir yang kami tuntut adalah 30 persen untuk biodisel ini atau D100, produknya itu harus dari petani. Karena dengan cara-cara itu petani akan bisa menjadi lebih sejahtera daripada mereka menjual pada tengkulak,” kata Darto.
Wakil Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Beni Hernedi dalam diskusi ini menyebut, daerah sebenarnya berharap ada hilirisasi komoditas sawit di tingkal lokal. Apalagi sebagai salah satu daerah penghasil sawit tertua di Sumatera, Musi Banyuasin berkomitmen pada praktik perkebunan berkelanjutan. Kabupaten ini juga menyebut energi baru dan terbarukan, sebagai salah satu program mereka.
Banyak studi telah dilakukan bekerja sama dengan perguruan tinggi. Dukungan pemerintah, kata Beni, saat ini sangat dibutuhkan.
“Seharusnya pemerintah pusat, BPDPKS juga, memang membuat semacam fokus kerja, kemudian keberpihakan alokasi insentif, sampai alokasi anggaran-anggaran yang telah dikutip dari CPO fund ini, hendaknya dengan membuat fokus pada daerah penghasil,” ujar Beni.
Evaluasi Menyeluruh Diperlukan
Dalam diskusi yang sama, anggota Komisi IV DPR RI, Yohanis Fransiskus Lema mengakui ada persoalan di sektor ini yang membutuhkan evaluasi menyeluruh. Salah satunya terletak dalam program B30 serta siapa saja yang ada di dalam BPDPKS
“Dalam aturan, bahkan dalam komposisi badan sawit nasional itu, terlihat bagaimana partisipannya diisi oleh representasi dari korporasi-korporasi besar. Nah karena itu, kalau kita mau bicara soal ini, memang harus dievaluasi mulai dari hulu sampai ke hilir,” kata Lema.
Tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, kata Lema, adalah melindungi petani mandiri dan swadaya. Hubungan petani dengan korporasi sawit besar juga harus diatur dengan baik, sehingga jangan sampai ada monopoli di tingkat korporasi.
Salam satu mitra Komisi IV adalah Kementerian Pertanian, karena itu Lema mengaku memiliki catatan sejumlah faktor yang butuh perbaikan. Para petani sawit berhadapan dengan persoalan kualitas bibit yang kurang baik. Kedua, keterbatasan kualitas dan kapasitas sumber daya manuia para petani sendiri.
“Juga ada aspek kelembagaan petani sawit yang dianggap lemah, yang mengakibatkan posisi tawar mereka juga berada di bawah,” tambah Lema.
Persoalan legalitas lahan, modal peremajaan lahan sawit, akses teknologi pengolahan lahan, akses teknologi pengolahan hasil panen, dan akses pemasaran dan pasar menjadi masalah tambahan. Karena itulah, pemerintah didesak berpihak kepada petani kecil, agar terlindungi dari korporasi besar sawit.
Evaluasi Target Biodisel
Manajer riset di Traction Energy Asia, Ricky Amukti mencatat ada tiga persoalan yang perlu diselesaikan terkait program B30. Traction Energy Asia adalah lembaga riset, yang salah satu fokusnya adalah sektor biodisel.
Tiga persoalan itu, kata Ricky, adalah di sektor ekonomi, lingkungan dan sosial. Di sektor ekonomi, kata Ricky, petani kecil sampai saat ini belum memperoleh manfaat dari program ini. Selain itu, masih ada selisih harga yang terlalu tinggi antara solar dan biodisel.
Selisih harga inilah yang ditutup pemerintah melalui insentif. Problem lain, program B3 yang dulu dirancang untuk mengatasi pasokan sawit yang berlimpah, kini justru berbalik membuat kelangkaan bahan baku. Program B30 diperkirakan akan menciptakan defisit itu pada 2023, dan pada 2025 akan mencapai 35 juta ton.
“Lakukan evaluasi menyeluruh dari hulu ke hilir kebijakan biodisel. B30 ini memiliki potensi defisit di tahun 2023, dan pemerintah sudah melakukan rencana menambah baurannya. Ini akan menambah defisit itu. Perlu dikaji ulang bagaimana biodisel ini berkelanjutan,” kata Ricky.
Defisit pasokan itu, lanjut Ricky akan melahirkan masalah di sektor kedua, yaitu lingkungan. Kebutuhan sawit yang tinggi, berpotensi mendorong ekspansi lahan dan menyebabkan deforestasi. Dalam isu lingkungan, pemerintah juga didesak menerapkan kebijakan methan capture, dimana produsen harus mengolah limbah cair mereka, yang sebenarnya bisa digunakan dalam proyek pembangkit listrik.
Jika pembukaan lahan terus berlajut, kata Ricky, masalah akan timbul di sektor ketiga yaitu sosial, dengan timbulnya banyak konflik. Meski tidak ada pembukaan lahan untuk menambal defisit, jalan keluar lain akan ditempuh produsen biodisel, yaitu dengan impor bahan baku.
Ricky merekomendasikan pemerintah melakukan harmonisasi kebijakan di tingkat kementerian, sehingga ada kesesuaian antar aturan. Perlu dibuat peta jalan kebijakan biodisel, karena selama ini menurut Ricky, keputusan yang diambil diarahkan oleh kondisi sesaat yang ada.
Lebih agresif lagi, pemerintah juga disarankan menahan laju bauran biodisel. Tidak perlu cepat-cepat menaikkan target dari B30 ke B40 dan seterusnya hingga B100 sesuai keinginan pemerintah Jokowi. Pemerintah juga diminta membuat program kemitraan petani dan menempatkan mereka dalam mata rantai pasikan biodisel untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Jokowi Apresiasi Capaian
Dalam Sidang Tahunan MPR 2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8), Presiden Jokowi secara khusus mengapresiasi capaian program biodisel yang digagasnya.
"Pertamina bekerja sama dengan para peneliti telah berhasil menciptakan katalis untuk pembuatan D-100, yaitu bahan bakar diesel yang 100 persen dibuat dari minyak kelapa sawit, yang sedang uji produksi di dua kilang kita," kata Jokowi
Pertamina tengah membangun fasilitias pengembangan green diesel, dengan jumlah produksi D100 sebanyak 20 ribu barrel per hari. Kelapa sawit yang dibutuhkan untuk proses itu mencapai 1 juta ton.
Program ini, selain menciptakan kemandirian energi karena menekan impor solar, juga diyakini Jokowi dinilai mampu memberdayakan petani kelapa sawit. [ns/em]