Ini adalah malam komedi di Universitas Johns Hopkins.
Para pelawak yang hadir bukan pelawak profesional. Mereka adalah mahasiswa, calon dokter, pengacara, atau programmer komputer. Tetapi untuk malam ini, mereka ingin tampil lucu. Atau, paling tidak itu harapannya.
Mungkin mereka agak gelisah pada awalnya, tetapi mereka mengakui pengalaman ini memberi mereka semangat. Apalagi, mereka bisa mengocok perut sesama rekan mahasiswa yang selama ini dirundung oleh stres.
Tetapi komedi, seperti yang dikatakan oleh Ariella Shua, adalah usaha yang serius.
“Kami mengikuti lokakarya, kami teliti seluruh skenarionya. Siapa pun yang membaca harus membaca semua materinya dan kemudian kami telusuri dari satu lawakan ke lawakan berikutnya, dan mengkaji apa yang efektif, apa yang tidak berhasil,” kata Shua.
“Jadi, ini mulai sebagai proyek individu untuk Anda sendiri dan beralih jadi upaya kelompok,” ujar Shua.
Sejak bergabung dengan Stand Up Comedy Club tahun lalu, Shua telah menjadi pengamat yang cermat.
“Saya mulai bawa buku notes kemana-mana di ransel saya. Setiap kali ada ide dalam benak saya atau saya dengar ada yang berkomentar lucu di perpustakaan, saya langsung tuliskan,” papar Shua.
“Kemudian, ketika saya menulis skrip lawakan saya, saya lihat di buku notes kalau-kalau ada materi yang bisa dipakai,” tambahnya,
Ketua Klub Komedi ini, Nicholas Scandura, merasa penulisan skrip lawakan ini bagian paling menarik dari proses stand-up comic.
“Menulis lawakan itu benar-benar menyenangkan. Perlu berpikir kritis, seperti sebuah proses.Yang ini tidak akan lucu, kalau ini bisa membuat orang tertawa,” kata Scandura.
“Saya rasa ini seperti bersosialisasi. Kami bertemu setiap Rabu, tertawa bersama yang lain, mengisahkan lawakan, dan ini merupakan rehat yang menyenangkan dan membuat kita rileks,” katanya.
Mahasiswa tingkat dua Harry Kuperstein mengatakan, klub komedi ini benar-benar cocok dengan kepribadian dirinya. Dan, dia yakin komedi stand-up ini akan membantu perkembangan keterampilannya di masa depan untuk menjadi ahli bedah saraf.
“Unsur-unsur seperti, misalnya bicara dengan pasien sebagai dokter, saya rasa kemampuan menuangkannya ke dalam skrip, dan siap dengan lawakan akan membantu memuluskan interaksi dan membuat diri kita menjadi pembicara publik yang lebih baik,” tutur Kuperstein.
Sejak bergabung dengan klub ini tahun lalu, mahasiswa jurusan ilmu computer, Alex Hecksher Gomes, telah berhasil mengembangkan gaya lawaknya sendiri yang khas.
“Tidak selalu harus menceritakan yang nyata. Kadang-kadang lebih lucu kalau kita menelusuri imajinasi kita. Kalau Anda mengikuti kenyataan, bisa terbentur. Juga jangan terperangkap dalam ide Anda pertama saja,” papar Gomes.
Jadi selain mempraktikkan komedi stand-up ini anggota klub kampus ini juga banyak memetik pelajaran lewat umpan balik dari kritikus komedi. [my]