Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dari Koalisi NGO untuk Keadilan Pemilu (SINGKAP) hari Rabu (7/2) melansir laporan mengenai kecurangan dan ketidaknetralan aparat dan pejabat negara dalam proses Pemilihan Umum 2024. SINGKAP terdiri dari puluhan lembaga swadaya masyarakat, termasuk KontraS, Imparsial, Setara Institute, Centra Initiative, Inklusif dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan Koalisi NGO Untuk Keadilan Pemilu selama 13 November 2023 hingga 31 Januari 2024 ditemukan adanya 121 kasus pelanggaran oleh aparatur negara dengan 31 kategori tindakan. Sedangkan pada periode Mei sampai pertengahan November 2023 hanya terdapat 56 kasus.
Dari 31 kategori tindakan, lanjutnya, tujuh tindakan teratas adalah dukungan aparatur sipil negara terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu (38 kasus), kampanye terselubung (16 kasus), dukungan terhadap kandidat tertentu (14 kasus), politisasi bantuan sosial (10 kasus), dukungan pejabat terhadap kontestan tertentu (sembilan kasus), penggunaan fasilitas (enam kasus), intimidasi terselubung (lima kasus), serta dukungan penyelenggara negara terhadap kontestan tertentu (dua kasus).
Setara Institute: Kepala Desa Hingga Presiden Mobilisasi Sumber Daya Negara untuk Kandidat Tertentu
Dalam hal pelaku, lanjut Halili, presiden menempati posisi keempat dengan sebelas kasus, setelah pegawai pemerintah kabupaten (13 kasus), menteri (13 kasus), lurah atau kepala desa (12 kasus).
"Ini sebuah kejahatan karena bahkan seorang presiden melakukan tindakan luar biasa untuk kemudian memobilisasi sumber-sumber daya negara untuk kepentingan kemenangan kandidat tertentu," ujarnya seraya menyebutkan dukungan terbuka Presiden Joko Widodo pada pasangan nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Gibran adalah putra presiden Jokowi.
Koalisi itu juga menyoroti soal ramainya menteri-menteri yang berkampanye untuk pasangan calon tertentu. Menurutnya, secara etika menteri-menteri yang berkampanye harusnya mundur terlebih dahulu dari jabatannya. Hal ini untuk memastikan penyelenggaraan pemilihan umum yang memiliki kredibilitas dan berintegritas.
Dari hasil pemantauan, koalisi menemukan tiga jenis pelanggaran menjelang Pemilihan Umum 2024, yakni kecurangan pemilu (58 kasus), pelanggaran netralitas (54 kasus), dan pelanggaran profesionalitas (7 kasus). Halili mengatakan dari 109 kasus kejahatan pemilu 2024, sebanyak 64 kasus menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran.
Lima daerah dengan kasus penyimpangan terbanyak yang dilakukan aparat negara adalah DKI Jakarta (14 kasus), Jawa Barat (13 kasus), Jawa Tengah (12 kasus), Banten (12 kasus), dan Jawa Timur (11 kasus).
Imparsial: Penyelenggaraan Pemilu Harus Adil
Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menegaskan konsep keadilan pemilu merupakan salah satu prinsip penting dalam penyelenggaraan pemilihan umum menjaga keadilan dalam pemilihan umum yang jujur, adil, dan demokratis. Prinsip keadilan, tambahnya, harus benar-benar dijamin dan dijaga dalam penyelenggaran pemilihan umum; dan hal ini mencakup empat hal.
"Setiap orang tentu saja harus dijamin haknya untuk kebebasan dalam memilih. Nggak boleh ada misalnya intervensi terhadap pilihan seseorang. Apalagi sampai tindakan-tindakan intimidatif, memaksa seseorang untuk memilih paslon tertentu," ujar Gufron.
Dari sisi kandidat, calon anggota legislatif di berbagai level hingga calon presiden harus lahir dari proses politik yang demokratis dan konstitusional, tidak melanggar prinsip demokrasi. Jika ada kandidat yang muncul dengan cara ‘mengangkangi” undang-undang, membajak lembaga-lembaga negara, tegasnya, jelas hal itu bertentangan dengan dengan prinsip keadilan pemilu. Apalagiu jika di saat yang sama, ada individu atau kelompok lain yang dirugikan dari proses politik yang manipulatif tersebut.
Gufron mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 yang membuat mantan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka melenggang ikut dalam kontestasi Pemilu 2024 sebagai calon wakil presiden mendamping Prabowo Subianto. Putusan kontroversial yang dikeluarkan pada Oktober 2023 tersebut menyatakan batas usia calon presiden dan wakil presiden minimum 40 tahun, atau yang berumur di bawah itu tetapi telah berpengalaman menjadi pejabat negara dan atau kepala daerah yang diperoleh melalui pemilihan umum.
Prinsip keadilan pemilu lain yang dinilai penting adalah pemilihan umum harus dilaksanakan secara berkala dan masa jabatan pemimpin harus dibatasi maksimum dua periode. Aparatur dan pejabat negara harus netral, tegasnya.
"Pejabat, ASN, TNI, Polri semuanya harus netral. Nggak boleh ada pemihakan. Kenapa ini menjadi penting? Supaya nggak ada penyalahgunaan kekuasaan, nggak ada penyalahgunaan wewenang, fasilitas, jabatan, kedudukan, anggaran, kebijakan, termasuk pengaruh yang melekat pada dirinya," tutur Gufron.
Gufron menilai praktek ketidaknetralan aparat dan pejabat negara dalam Pemilihan Umum 2024 terjadi di semua level, dan sebagian besar bertujuan untuk menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran. Dia mencontohkan kunjungan Prabowo untuk program bedah rumah di wilayah Cilincing, Jakarta Utara, yang menggunakan anggaran Kementerian Pertahanan melalui Universitas Pertahanan.
Baru-baru ini Prabowo bahkan diundang dalam kapasitas sebagai menteri pertahanan untuk menghadiri acara pertemuan dengan petani yang digelar oleh Kementerian Pertanian.
Menurut Gufron, netralitas Presiden Joko Widodo juga pantas dipertanyakan. Dia mencontohkan anggaran bantuan sosial membengkak dua kali lipat menjelang pencoblosan.
Pasangan Capres-Cawapres Serukan Pemilu Jurdil Tanpa Kecurangan
Sejak jauh hari tiga pasang kontestan dalam Pemilihan Presiden 2024 berkomitmen untuk menjaga pemilu yang damai, jujur, adil dan tanpa kecurangan.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada akhir Januari lalu bahkan kembali menyerukan semua pihak yang terlibat dalam pemilu untuk bermain bersih sesuai aturan. Secara khusus ia meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memperketat pengawasan guna mencegah ketidaknetralan aparat dan pejabat negara, dan politisasi bansos.
Bawaslu sedang menangani sejumlah dugaan pelanggaran netralitas aparatur dengan beberpa klaster aktor, diantaranya dukungan pejabat kepala daerah dan pemasangan alat peraga yang diduga dilakukan aparat negara. [fw/em]
Forum