Azam Baki, komisioner utama Komisi Anti-Korupsi Malaysia (MACC), mengajukan gugatan terhadap Lalitha Kunaratnam pada 12 Januari 2022 dan menuntut ganti rugi sekitar $2,38 juta karena sepasang artikel yang diterbitkan pertama kali pada Oktober lalu oleh Independent News Service, sebuah pemberitaan lokal online. Dalam artikel itu, Lalitha membuat daftar dugaan sejumlah kepentingan bisnis dan koneksi Azam sekaligus mempertanyakan apakah aset-aset itu dilaporkan secara benar atau mencerminkan konflik kepentingan.
Menurut laporan, Azam memiliki hampir 3 juta saham di sepasang perusahaan dan lebih dari 2 juta stok langsung di perusahaan lainnya selama tahun 2015 dan 2016, ketika berperan sebagai direktur penyelidikan di MACC. Ini kemungkinan merupakan pelanggaran atas batas hukum untuk pegawai negeri. Beberapa saudara laki-laki Azam, tambah artikel itu, memperluas kepentingan bisnis masing-masing selama ia naik karirnya di dalam komisi tersebut.
Ratusan warga berunjuk rasa di pusat kota Kuala Lumpur, ibukota Malaysia, Sabtu lalu (22 Januari) menuntut agar Azam mundur dari jabatan terkait tuduhan tersebut. Polisi memblokir jalan-jalan utama dan menutup stasiun-stasiun metro di sekitar lokasi unjuk rasa terlebih dahulu, demikian klaim dari beberapa pengunjuk rasa, untuk membatasi jumlah masa yang berkumpul.
Kelompok-kelompok hak-hak mengatakan gugatan Azam sejalan dengan pengekangan kebebasan pers dan meningkatnya pelecehan terhadap para jurnalis sejak runtuhnya pemerintahan koalisi Pakatan Harapan yang progresif pada awal tahun 2020. Malaysia menurun 18 peringkat dalam indeks kebebasan pers tahunan Reporters Without Borders dari tahun 2020 hingga 2021, penurunan paling tajam dari negara mana pun pada periode tersebut.
Kepala Reporters Without Borders Asia-Pasifik Daniel Bastard mengatakan gugatan Azam jelas ditujukan untuk membungkam perdebatan tentang dugaan kepentingan bisnisnya, dan lebih banyak yang dipertaruhkan daripada sekedar kebebasan pers.
Malaysia telah dihadapkan pada citra korupsi pemerintah yang parah selama bertahun-tahun.
Skandal korupsi yang melibatkan dugaan penggelapan miliaran dolar dana negara telah mendorong kejatuhan pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak dalam pemilihan tahun 2018. Najib, yang tetap menjabat di parlemen, sejak itu dihukum atas penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran kepercayaan dan pencucian uang, serta dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Dia menyangkal telah melakukan kesalahan dan bebas dengan uang jaminan sambil menunggu hasil naik banding.
Partai Najib yang ternoda, Organisasi Nasional Melayu Bersatu atau UMNO, juga berhasil merebut kembali kekuasaannya tanpa pemilihan baru melalui serangkaian pembelotan politik di parlemen. [mg/jm]