Pelaku pembunuhan disertai mutilasi empat warga Nduga, Papua, dari unsur sipil akan segera menerima putusan di Pengadilan Negeri Timika. Perwakilan keluarga dan mahasiswa asal Papua menyuarakan tuntutan keadilan bagi korban dalam kasus ini.
Salah satu keluarga korban, Narik Tabuni, meminta hakim Pengadilan Negeri Timika menjatuhkan hukuman seumur hidup, sesuai tuntutan jaksa. “Kami sudah percayakan ini betul kepada hukum. Jangan sakiti kami. Kami sama sekali tidak membalas apapun. Kami sudah serahkan. Kami menjamin kondisi keamanan di Timika, kami menjamin kondisi keamanan di seluruh Papua,” kata Narik, dalam pernyataan kepada media secara daring, Senin (5/6).
Dia menambahkan, “Kalau hari ini kami mau pakai hukum bar-bar, minta maaf, ribuan orang bisa korban. Tapi kami tidak mau itu terjadi. Kami punya nalar, kami punya otak untuk berpikir. Kami bisa cari solusi yang baik.”
Narik adalah kerabat dari empat korban pembunuhan disertai mutilasi di Nduga, Papua. Kasus mutilasi ini terjadi pada 22 Agustus 2023 di kabupaten Mimika, ketika empat warga Nduga, yaitu Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Atis Tini, dan Lemaniol Nirigi pergi ke Timika untuk berbelanja. Pembunuhan dan mutilasi ini melibatkan enam anggota TNI aktif dan empat warga sipil sebagai pelaku.
Enam anggota TNI kesatuan Datasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo telah dihukum pengadilan militer. Pratu Rahmat Amin Sese, Robertus Putra Clinsman, dan Mayor Inf Helmanto Fransikus Dhaki dihukum penjara seumur hidup. Dua lainnya, divonis 20 tahun dan 15 tahun penjara, serta satu pelaku meninggal dalam proses persidangan. Seluruh anggota TNI juga dinyatakan dipecat.
Namun, Mayor Inf Helmanto Fransikus Dhaki mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Militer III Surabaya, dan diterima. Dalam proses banding ini, hukuman Helmanto turun menjadi 15 tahun penjara dan pemecatan. Keputusan ini dinilai melecehkan rasa keadilan bagi keluarga dan masyarakat papua.
“Kami dari pihak keluarga korban sudah percayakan pada hukum, tapi hukum tidak memihak kepada kita. Jadi, terkait dengan putusan terhadap pelaku TNI, terutama yang berpangkat Mayor atas nama Helmanto Fransiskus Daki, yang mengajukan banding di Pengadilan Militer Surabaya itu, kami keluarga korban sangat tidak terima dan tolak,” ujar Narik.
Pelaku Sipil Tunggu Putusan
Sementara empat pelaku sipil saat ini tengah menunggu putusan pengadilan. Mereka adalah Roy Marten Howay, Andre Pudjianto Lee, Dul Uman dan Rafles Laksana. Sebelumnya, mereka telah dituntut penjara seumur hidup oleh jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Timika.
Mahasiswa asal Nduga, Papua, di Manado, Malang, Salatiga, Jakarta dan Yogyakarta bersama-sama menyampaikan tuntutan pada Senin (5/6) terkait persidangan kasus ini.
Di Yogyakarta, Aza Gwijangge mewakili mahasiswa Nduga, membacakan tuntutan tersebut. “Kami mendesak majelis hakim banding Pengadilan Tinggi Militer III Surabaya, agar tinjau ulang putusan pengurangan hukuman penjara seumur hidup menjadi 15 tahun terhadap Mayor Helmanto Fransiskus Daki,” ujarnya.
Alasannya, kata Aza, karena putusan itu tidak sesuai dengan gelar perkara dan fakta persidangan. Mayor Helmanto adalah otak yang mengatur perencanaan kasus ini, dan karena itu pantas dihukum seumur hidup.
Selain itu, mahasiswa Nduga se-Indonesia juga mendesak Pengadilan Negeri Mimika dan pihak keamanan setempat, memberikan akses kepada keluarga korban dan masyarakat untuk menyaksikan persidangan. Selama ini, pihak keamanan dari Polres Mimika dinilai menerapkan tindakan diskiminatif terhadap keluaga korban. Mereka yang datang ke persidangan, harus melewati pemeriksaan.
Mahasiswa Nduga juga meminta, empat pelaku sipil dijatuhi hukuman seumur hidup. “Agar menjunjung tinggi keadilan bagi setiap orang dan hukum yang tidak diskriminasi,” kata Aza.
Mereka juga meminta Mahkamah Agung dan Komnas HAM, untuk memantau setiap persidangan yang dinilai berpotensi merugikan masyarakat asli Papua.
Wajah Penanganan Papua
Diakui atau tidak, kasus pembunuhan dan mutilasi ini menjadi gambaran bagaimana pendekatan keamanan dipraktikkan di Papua, kata Wakil koordinator bidang advokasi, KontraS, Tioria Pretty Stephanie dalam keterangan daring, Senin (5/6).
“Sebenarnya kasus ini juga menunjukkan bagaimana kekerasan itu terus ada dan juga dan juga tidak ditanggapi secara benar-benar serius dalam konteks yang terjadi di Papua,” kata Tioria.
Dalam keterangan di persidangan, pembunuhan ini terjadi ketika para oknum TNI itu memancing empat warga Nduga dalam proses pembelian senjata. Kalaupun narasi ini benar, kata Tioria, maka itu semakin menunjukkan bahwa keterlibatan TNI dalam pengamatan wilayah di Papua tidak tepat.
“Ini sudah menunjukan, bahwa penindakan tindak pidana terorisme yang biasanya dikenakan pada Kelompok Kriminal Bersenjata, itu jelas salah tempat ketika dilaksanakan oleh TNI,” ujarnya.
Tioria juga mengatakan, harus dibedakan pihak mana yang berperan sebagai aparat keamanan dan siapa yang disebut sebagai aparat pertahanan.
“Mana yang aparat penegak hukum, dan mana yang aparat pertahanan. Keberadaan TNI, yang sebenarnya adalah aparat pertahanan, kemudian masuk dalam ranah penegakan hukum, seolah-olah dia hendak membantu dalam pemberantasan KKB, itu sebenarnya sudah menunjukan bahwa operasinya salah,”bebernya.
Dalam perpektif berbeda, jika kasus ini tidak muncul ke permukaan, maka fakta lain juga terungkap, bahwa ada proses penjualan senjata yang dilakukan oknum TNI. Berbagai laporan juga menunjukkan, adanya transaksi semacam ini, namun tidak memperoleh tindak lanjut.
“Sebenarnya, keberadaan TNI di Papua itu tidak tepat. Pendekatan keamanan yang dilakukan di Papua harus dikaji lagi oleh pemerintah, oleh DPR, untuk tidak melakukan pendekatan keamanan di Papua,” tegas Tioria. [ns/ab]
Forum