Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) mengatakan data tahun 2015 menunjukkan ada 389 aturan perundang-undangan dan kebijakan di Indonesia yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas lainnya.
Komisioner KOMNAS Perempuan Indraswari mengatakan saat ini ada berbagai kesalahan persepsi, yakni aturan selalu diartikan sebagai kemauan dari semua pihak, baik laki-laki maupun perempuan.
Padalah faktanya tidak begitu, dan lebih parah lagi, pelanggaran hak asasi perempuan selalu dianggap biasa, ujarnya dalam sebuah diskusi yang dilangsungkan oleh Komite Kerja Sama Antar Parlemen di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis (26/5).
"Kebutuhan perempuan sedikit banyak kurang terakomodir dalam pembuatan aturan. Ada kecenderungan perempuan lebih menjadi obyek ketimbang subyek dalam pembuatan dan penegakan aturan," kata Indraswari.
"Sejumlah aturan daerah di Indonesia mengatur bagaimana perempuan mesti berkelakuan, berpakaian. Dalam pandangan sosial, aturan semacam ini mestinya menjadi kebiasaan saja atau norma, tidak perlu menjadi hukum resmi seperti aturan daerah."
Indraswari mengatakan aturan perundang-undangan yang berdasarkan prinsip kesetaraan gender seharusnya memuat pasal-pasal yang menjamin hak asasi manusia dan keadilan bagi laki-laki dan perempuan, dan tetap sejalan dengan peraturan yang lebih tinggi.
"Tujuan dan isi aturan itu tidak boleh saling bertentangan.Tidak boleh ada pasal yang mendiskriminasi, membatasi, atau mengganggu perempuan untuk menikmati hak asasi mereka. Juga tidak boleh ada pasal yang mengkriminalisasikan perempuan yang menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual," ujarnya.
Indraswari menggarisbawahi bahwa yang paling utama adalah tidak boleh ada pasal yang menempatkan kekerasan seksual terhadap perempuan sebagai isu moral, karena ini adalah soal kejahatan dan pelakunya mesti dihukum.
Hal senada disampaikan seorang komisioner KOMNAS HAM Roichatul Aswidah, yang mengatakan bahwa banyak provinsi mengeluarkan aturan lokal yang sebagian diantaranya bersifat diskriminatif.
"Hukum-hukum ini membatasi hak-hak perempuan dalam kehidupan sosial, mewajibkan pakaian khusus perempuan, membatasi kebebasan perempuan," katanya.
Eva Kusuma Sundari, anggota fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menilai budaya hukum di Indonesia kelihatan segan dan menolak pelaksanaan perspektif kesetaraan gender, baik itu dalam perumusan aturan atau penegakan hukumnya.
Kentalnya budaya patriarki membuat masih banyak aturan yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan, tambahnya.
"Kita benar-benar memiliki masalah serius dengan budaya karena budaya yang ada dan berpihak pada kaum lelaki sangat dominan dan telah mempengaruhi politisi, aparat penegak hukum dan lainnya. Jadi saya khawatir soal kualitas penegakan hukum di Indonesia bila politisi, penegak hukum, dan birokrat masih berpegang pada budaya pro lelaki ini," katanya.