Peristiwa kekerasan terus terjadi di tanah Papua. Kamis siang, polisi menembak Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat Mako Tabuni. Pihak kepolisian menyatakan Mako Tabuni ditembak karena melawan ketika hendak ditangkap.
Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim kepada wartawan di kantornya mengutuk peristiwa penembakan terhadap Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat itu. Menurut Ifdal kejadian itu dapat memicu kekerasan di tanah Papua.
Ifdhal mengatakan penembakan tersebut menjadi catatan panjang kekerasan di Papua. Berdasarkan data Komnas HAM, dari Januari hingga awal Juni 2012 terdapat sekitar 11 korban meninggal dunia dan sebanyak 12 korban mengalami luka-luka.
Oleh karena itu, Ifdhal meminta agar Polri menjelaskan kronologis peristiwa kekerasan dan penembakan tersebut. Menurut Ifdal, proses hukum harus dilakukan kepada aparat yang melakukan pelanggaran.
Pemerintah menurut Ifdal harus segera mengambil kebijakan dan segera membangun dialog yang bermartabat dengan semua elemen masyarakat di Papua guna mencari solusi damai terhadap berbagai permasalah di Papua.
"Hanya mereka (orang Papua) saja yang diminta pertanggungjawaban kalau mereka mengibarkan bintang kejora atau (kalau) mereka meneriakan kata Merdeka, mereka ditangkap. Tetapi ketika aparat keamanan melakukan penembakan diluar prosedur hukum, tidak ada pertanggungjawabannya. Nah itu kan menimbulkan kemarahan mereka," kata Ifdal Kasim.
"Menurut saya, (pemerintah) harus merubah paradigma dalam melihat isu Papua ini. Kalau terus menerus meniupkan isu separatis saya kira itu akan menyulitkan karena kalau sudah isu separatis berarti harus ada pendekatan keamanan yang lebih intensif. Nah ini kan akan terus mengeskalasi kekerasan," lanjutnya.
Juru Bicara Kepolisian Wilayah Papua Yohanes Nugroho menjelaskan Mako Tabuni ditembak karena melawan ketika hendak ditangkap. Tabuni ditangkap karena diduga terlibat sejumlah aksi kekerasan di Jayapura diantaranya kasus penembakan terhadap warga negara Jerman beberapa waktu lalu.
"Kita mau menangkap, tetapi ketika mau menangkap ada perkelahian antara yang menangkap dan pelaku berinisial MT (Mako Tabuni) dan ketika senjata yang dibawa MT mengarah ke aparat, dia dilumpuhkan oleh aparat yang lain, sehingga MT mengalami luka tembak," jelas Yohanes Nugroho.
Mako Tabuni terkena tembakan dan meninggal dunia dalam perawatan. Pendukung Tabuni melampiaskan kemarahan mereka dengan melakukan perusakan. Mereka membakar ruko, 27 motor dan tiga mobil.
Peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono menyatakan terus terjadi kekerasan di Papua disebabkan adanya impunitas kepada aparat yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat Papua.
"Pelakunya itu mengalami kebal hukum, hanya dihukum sederhana. Masyarakat luas cenderung menerima bahwa orang-orang Papua inilah yang bersalah. Batalyon 753 yang menyiksa para petani di Papua hanya divonis tidak mentaati perintah atasan dan dihukum tujuh bulan penjara. Atau bekas Kapolresta Jayapura, Imam Setiawan yang menyebabkan tiga orang mati dan 90 orang luka-luka Oktober lalu hanya dihukum peringatan tertulis," papar Anread Harsono.
Andreas Harsono meminta pemerintah Indonesia untuk segera mengizinkan media dan kelompok masyarakat sipil internasional masuk ke Papua.
Juru Bicara Forum Kerja Gereja Papua pendeta Benny Giay mendesak adanya intervensi lembaga kemanusiaan internasional untuk menyelamatkan rakyat Papua. Hal ini diungkapkan menyusul banyaknya aksi penembakan dan teror di tanah Papua.
Permasalahan di Papua memang menjadi perhatian serius dunia internasional. Dalam Forum Univesal Periodic Review (UPR) di sidang Dewan Ham PBB di Jenewa, Swiss beberapa waktu lalu, 14 negara mempertanyakan persoalan Papua.
Hal yang dipertanyakan diantaranya soal pelanggaran HAM di Papua oleh TNI dan Polri, akses di Papua yang tertutup untuk organisasi internasional maupun jurnalis dan soal penerapan pasal-pasal makar kepada para terpidana yang dijatuhi hukuman akibat menyuarakan pemikirannya.
Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim kepada wartawan di kantornya mengutuk peristiwa penembakan terhadap Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat itu. Menurut Ifdal kejadian itu dapat memicu kekerasan di tanah Papua.
Ifdhal mengatakan penembakan tersebut menjadi catatan panjang kekerasan di Papua. Berdasarkan data Komnas HAM, dari Januari hingga awal Juni 2012 terdapat sekitar 11 korban meninggal dunia dan sebanyak 12 korban mengalami luka-luka.
Oleh karena itu, Ifdhal meminta agar Polri menjelaskan kronologis peristiwa kekerasan dan penembakan tersebut. Menurut Ifdal, proses hukum harus dilakukan kepada aparat yang melakukan pelanggaran.
Pemerintah menurut Ifdal harus segera mengambil kebijakan dan segera membangun dialog yang bermartabat dengan semua elemen masyarakat di Papua guna mencari solusi damai terhadap berbagai permasalah di Papua.
"Hanya mereka (orang Papua) saja yang diminta pertanggungjawaban kalau mereka mengibarkan bintang kejora atau (kalau) mereka meneriakan kata Merdeka, mereka ditangkap. Tetapi ketika aparat keamanan melakukan penembakan diluar prosedur hukum, tidak ada pertanggungjawabannya. Nah itu kan menimbulkan kemarahan mereka," kata Ifdal Kasim.
"Menurut saya, (pemerintah) harus merubah paradigma dalam melihat isu Papua ini. Kalau terus menerus meniupkan isu separatis saya kira itu akan menyulitkan karena kalau sudah isu separatis berarti harus ada pendekatan keamanan yang lebih intensif. Nah ini kan akan terus mengeskalasi kekerasan," lanjutnya.
Juru Bicara Kepolisian Wilayah Papua Yohanes Nugroho menjelaskan Mako Tabuni ditembak karena melawan ketika hendak ditangkap. Tabuni ditangkap karena diduga terlibat sejumlah aksi kekerasan di Jayapura diantaranya kasus penembakan terhadap warga negara Jerman beberapa waktu lalu.
"Kita mau menangkap, tetapi ketika mau menangkap ada perkelahian antara yang menangkap dan pelaku berinisial MT (Mako Tabuni) dan ketika senjata yang dibawa MT mengarah ke aparat, dia dilumpuhkan oleh aparat yang lain, sehingga MT mengalami luka tembak," jelas Yohanes Nugroho.
Mako Tabuni terkena tembakan dan meninggal dunia dalam perawatan. Pendukung Tabuni melampiaskan kemarahan mereka dengan melakukan perusakan. Mereka membakar ruko, 27 motor dan tiga mobil.
Peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono menyatakan terus terjadi kekerasan di Papua disebabkan adanya impunitas kepada aparat yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat Papua.
"Pelakunya itu mengalami kebal hukum, hanya dihukum sederhana. Masyarakat luas cenderung menerima bahwa orang-orang Papua inilah yang bersalah. Batalyon 753 yang menyiksa para petani di Papua hanya divonis tidak mentaati perintah atasan dan dihukum tujuh bulan penjara. Atau bekas Kapolresta Jayapura, Imam Setiawan yang menyebabkan tiga orang mati dan 90 orang luka-luka Oktober lalu hanya dihukum peringatan tertulis," papar Anread Harsono.
Andreas Harsono meminta pemerintah Indonesia untuk segera mengizinkan media dan kelompok masyarakat sipil internasional masuk ke Papua.
Juru Bicara Forum Kerja Gereja Papua pendeta Benny Giay mendesak adanya intervensi lembaga kemanusiaan internasional untuk menyelamatkan rakyat Papua. Hal ini diungkapkan menyusul banyaknya aksi penembakan dan teror di tanah Papua.
Permasalahan di Papua memang menjadi perhatian serius dunia internasional. Dalam Forum Univesal Periodic Review (UPR) di sidang Dewan Ham PBB di Jenewa, Swiss beberapa waktu lalu, 14 negara mempertanyakan persoalan Papua.
Hal yang dipertanyakan diantaranya soal pelanggaran HAM di Papua oleh TNI dan Polri, akses di Papua yang tertutup untuk organisasi internasional maupun jurnalis dan soal penerapan pasal-pasal makar kepada para terpidana yang dijatuhi hukuman akibat menyuarakan pemikirannya.