Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani mengatakan, pemerintah harus menunjukkan komitmennya untuk segera menyusun aturan turunan UU TPKS. Tanpa aturan pelaksana, UU TPKS yang disahkan pada 12 April itu tidak akan berdampak di masyarakat.
“Kita minta komitmennya, agar setelah UU ini disahkan, proses percepatan pembuatan peraturan turunan juga ada. Jadi komitmennya terus terjaga,” ujarnya kepada VOA dalam konsolidasi masyarakat sipil mendukung implementasi UU TPKS di Bandung, Sabtu (23/4).
Beberapa hal yang perlu diatur dalam aturan turunan itu antara lain adalah mekanisme penanganan, dana bantuan dan restitusi bagi korban kekerasan seksual, penyelenggaraan pelayanan terpadu, serta pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum dan tenaga layanan.
Tiasri mengatakan, yang paling krusial untuk segera diatur adalah pemulihan bagi korban dan penyintas. “Jangan sampai kendala, ketika korban ingin mengakses layanan, dengan alasan kasusnya sudah lama, dengan alasan tidak ada dana yang meng-cover. Bagaimana peraturan turunan ini benar-benar memberikan akses itu,” tandasnya.
“Aturannya belum sampai ke kami”
Sementara itu, lembaga penyedia layanan meyakini semakin banyak korban akan melaporkan kasus. Padahal, kenyataannya di lapangan belum ada mekanisme karena masih menunggu aturan turunan.
Karmila Yusup, konselor Women’s Crisis Center Pasundan-Durebang, tidak ingin membuat korban merasa kecewa. “Mekanismenya belum ada. Saya yang biasa bekerja di lapangan itu sangat khawatir dan takut. Tenaga di kami terbatas, belum ada ini belum ada itu. Sedangkan korban akan banyak membludak. Saya khawatir mereka kecewa. Jangan sampai korban dikorbankan lagi,” tandasnya dalam kesempatan yang sama.
Dia mengatakan, selama ini Lembaga penyedia layanan milik Pemerintah dan swasta bekerja masing-masing. Dia berharap pengesahan UU TPKS ini dapat membangun sistem terpadu. “Siapa yang menangani pemulihan? Bagaimana koordinasi dalam layanan terpadu itu harus lebihkonkrit lagi. Bagaimana koordinasi lain, lembaga masyarakat dan lain-lain. Jangan sampai di lapangan salah pengertian, itu yang jadi mengorbankan korban lagi,” tegasnya.
Infrastruktur Bisa Hambat Implementasi
Sementara itu, salah seorang penyintas menyorotinya kurangnya infrastruktur layanan korban Kekerasan di daerah. Dion, 23 tahun, mengatakan pusat layanan baik pemerintah dan swasta masih terkonsenterasi di kota-kota besar. “Di Jawa Barat selain dari negara itu cuma ada di Bandung sama Majalaya. Selain itu nggak ada. Kemarin ada korban, pelakunya orang Bandung, korbannya di Garut dan Tasikmalaya, mereka tidak ter-cover,” ungkapnya.
Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2021, belum semua daerah memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Dari 34 provinsi baru ada 29 pemda yang memiliki UPTD PPA. Sementara dari 216 kabupaten/kota, baru 134 kabupaten/kota yang sudah memilikinya.
Hal itu membuat kasus-kasus kekerasan seksual di daerah, kata Dion, luput dari statistik pemerintah. Karena itu dia berharap implementasi UU TPKS bisa sampai ke pelosok. “Saya sangat berharap implementasi peraturannya, dan penyuluhannya, tidak hanya di kota-kota bersar tapi di semua tempat. Di tempat-tempat di pelosok,” pungkasnya.
Kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin memprihatinkan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2011 hingga 2020 mencatat 2,7 juta kasus kekerasan seksual. Sementara itu, situasi pandemi COVID-19 membuat perempuan dan anak perempuan yang mengalami kekerasan di dunia siber juga bertambah. [rt/em]