Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfa Anshor meyakini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang diusulkan sejumlah anggota DPR akan ditetapkan sebagai RUU Prolegnas Prioritas 2021. Ia berharap RUU tersebut dapat serius dibahas dan disahkan DPR dan pemerintah pada tahun depan. Menurut Maria, lembaganya juga telah melakukan sejumlah lobi ke anggota DPR dan fraksi DPR untuk meloloskan RUU ini sebagai undang-undang.
"Untuk anggota DPR pengusul, kami sudah sampaikan draf akademik maupun RUU-nya sebagai usulan Komnas Perempuan dan jaringan masyarakat sipil, akademisi sudah masuk ke anggota legislatif pengusul," jelas Maria Ulfa Anshor dalam diskusi daring, Rabu (25/11/2020) malam.
Maria menambahkan lembaganya juga akan menggelar diskusi dengan kementerian dan lembaga terkait RUU PKS. Antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan dan Bareskrim Polri.
Menurut Maria, kehadiran regulasi setingkat undang-undang untuk penghapusan kekerasan seksual sudah mendesak. Catatan Komnas Perempuan terdapat 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal dan publik sepanjang 2011-2019.
Tingginya kekerasan terhadap perempuan juga terlihat dari hasil survei BPS yang bekerjasama dengan KPPPA pada 2016. Hasil survei menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya. Sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir.
Sementara Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sri Wiyanti Eddyono mengatakan aturan tentang kekerasan seksual memang diatur dalam sejumlah undang-undang, termasuk dalam KUHP dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, undang-undang tersebut tidak mengatur dengan jelas jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan seperti pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi dan aborsi.
"Dalam realitas kasus perkosaan itu tidak semata-mata alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Dalam praktiknya ada segala jenis benda yang dimasukkan. Itu masuk apa, tidak masuk perkosaan," jelas Sri Wiyanti Eddyono.
Wiyanti menambahkan RUU PKS ini juga berpihak kepada korban kekerasan seksual karena mengatur tentang pemulihan terhadap korban. Dengan aturan ini, maka korban akan mendapat pemulihan sambil proses hukum mereka berjalan. Selain itu, kata Wiyanti, RUU ini juga telah mengatur kekerasan seksual yang terjadi di ranah digital seperti Kekerasan Berbasis Gender Online.
Anggota Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka yang merupakan salah satu pengusul RUU PKS, mengatakan RUU ini telah masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas 2021. Menurutnya, pembahasan RUU PKS lebih tepat dilakukan pada periode sekarang karena fokus DPR tidak terpecah. Berbeda dengan periode lalu yang terpecah dengan sejumlah RUU, salah satunya omnibus law RUU Cipta Kerja yang banyak menyita perhatian.
"Persoalannya penting dan menjadi perhatian publik sehingga memang harus diangkat menjadi salah satu agenda parlemen. Dan juga selama ini menjadi kelemahan hukum dalam banyak kasus kekerasan seksual," jelas Diah Pitaloka kepada VOA, Kamis (26/11/2020).
Diah menjelaskan terdapat sejumlah hambatan di RUU PKS sehingga tidak masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas tahun lalu. Beberapa di antaranya, katanya, karena kurang siapnya naskah akademik dan kesibukan DPR dan pemerintah. Sementara terkait perbedaan pendapat anggota DPR tentang RUU PKS ini, menurutnya, itu umum terjadi di parlemen. Kendati demikian, Diah meyakini RUU PKS akan disahkan menjadi Undang-undang pada tahun depan.
Juli lalu, proses legislasi RUU PKS terhenti saat Komisi VIII menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak lagi menjadi usulan Komisi VIII. Proses penyusunan dan pembahasan RUU ini dikoordinasikan lebih lanjut oleh Badan Legislasi DPR RI.
Rapat kerja Baleg, DPD dan Menkumham RI tentang Evaluasi Prolegnas pada 2 Juli 2020 kemudian memutuskan secara resmi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual keluar dari Prolegnas Prioritas 2020. Keputusan ini menuai polemik di kalangan masyarakat. [sm/ab]