Tautan-tautan Akses

RUU Ketahanan Keluarga Berpotensi Cabut Hak Perempuan


Sepasang kekasih di Solo, berfoto di depan poster Pangeran Harry dan istrinya, Meghan Markle, 20 Mei 2018. (Foto: AFP)
Sepasang kekasih di Solo, berfoto di depan poster Pangeran Harry dan istrinya, Meghan Markle, 20 Mei 2018. (Foto: AFP)

Sejumlah anggota DPR resmi mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga untuk memperkuat apa yang disebut ‘nilai-nilai dan fungsi keluarga’. Namun pengamat menilai isinya berpotensi mencabut hak-hak perempuan. 

Salah satu pengusung RUU tersebut, Ledia Hanifa, mengatakan UU itu ingin memperbaiki kondisi keluarga di Indonesia.

“Intinya adalah bagaimana kondisi keluarga ini menjadi keluarga keluarga yang tangguh. Supaya kita memiliki ketahanan keluarga yang mendorong ketahanan nasional,” ujarnya ketika dihubungi VOA.

Politisi PKS ini menjelaskan, segala permasalahan itu akan didampingi oleh badan-badan pemerintah yang selama ini mengurus keluarga. Badan tersebut akan diperluas supaya punya pusat layanan sampai level komunitas.

“Yang nanti akan membantu pendampingan, pembinaan untuk tumbuh kembang. Kalau punya masalah kita bisa selesaikan,” jelas Ledia.

“Kalau ada yang perlu direhabilitasi, dalam konteksnya ada penyimpangan, pelaku dan korban itu sama-sama direhabilitasi. Jadi pendekatannya lebih pada restoratif,” tambahnya.

Selain Ledia, RUU ini diusulkan oleh Netty Prasetiyani (PKS), Sodik Mudjahid (Gerindra), dan Ali Taher (PAN).

RUU Ketahanan Keluarga Berpotensi Cabut Hak Perempuan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:37 0:00

RUU ini mengatur banyak hal mulai seperti suami istri “wajib saling mencintai” dan kewajiban suami istri.

Pasal 25 ayat (3) menyatakan kewajiban istri antara lain: (c) memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan perundang-undangan. Namun, RUU ini tidak membebankan hak-hak istri kepada suami.

Beleid ini juga melarang dan mewajibkan pelaporan atas apa yang dinilai sebagai ‘penyimpangan seksual’. Dalam draf-nya, RUU ini memasukkan homoseks sebagai penyimpangan seksual. Padahal homoseksual sudah dihapus dari daftar gangguan jiwa Kementerian Kesehatan sejak 1993.

Urgensi RUU KK Dipertanyakan

Sejumlah pasal dalam RUU ini langsung mendapat kritik dari kelompok masyarakat sipil. Lusius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai RUU itu tidak punya basis kebutuhan yang jelas.

“Tanpa UU sekalipun saya kira orang yang berkeluarga itu sudah tahu apa yang jadi kewajiban masing-masing. Ketika (UU mengatur) ada kewajiban dari seorang bapak dari seorang ibu rumah tangga, ini kan terlalu berlebihan,” ujarnya kepada VOA.

Peneliti Formappi ini mengatakan, di samping masuk ke ranah privasi warga negara, RUU itu juga tidak mengatur sanksi bagi yang melanggar. Karena itu, menurut Lusius, isinya lebih mirip imbauan.

“Lalu apa pentinganya UU ini kalau begitu? Saya kira konsep itu yang tidak jelas di pengusulnya,” tambah dia lagi.

Seorang perempuan mencium tangan suaminya setelah akad nikah di sebuah masjid di Banda Aceh, 9 Desember 2012. (Foto: Reuters)
Seorang perempuan mencium tangan suaminya setelah akad nikah di sebuah masjid di Banda Aceh, 9 Desember 2012. (Foto: Reuters)

Lusius mengusulkan, penguatan keluarga dilakukan lewat UU yang sudah ada. Salah satunya dengan memperkuat UU KDRT

“Jadi kalau masih ada yang belum kuat dan (akan) diatur dalam UU (Ketahanan Keluarga) itu, saya kira itu yang menjadi kewajiban DPR untuk mengubahnya,” tuturnya.

RUU KK Berpotensi Mencabut Hak Perempuan

Sementara itu mantan Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, mengatakan pasal-pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga berpotensi mendiskriminasi perempuan.

Menurut Sri, RUU itu menutup mata akan ketidakadilan gender yang masih terjadi di Indonesia.

“Mengabaikan fakta bahwa perempuan itu hidup dalam masyarakat yang patriarkis. Sehingga nggak mungkin kalau RUU itu disusun seolah-olah tidak ada ketimpangan relasi kuasa. Jadi start-nya sudah tidak sesuai dengan faktanya,” tegas Sri ketika dihubungi.

Ketua Yayasan Sukma yang aktif mendampingi perempuan ini mengatakan, sejumlah pasal berpotensi disalahgunakan untuk membenarkan kekerasan terhadap perempuan.

“Nanti pada saat perempuan itu dilaporkan, distigma, atau dituduh, dianggap tidak menjalankan kewajibannya, maka KDRT yang dialami itu akan jadi sesuatu yang dibolehkan,” ujar Sri lagi.

Yang penting bagi DPR, Sri mengusulkan, adalah menerbitkan legislasi yang menjamin hak-hak perempuan. Misalnya dengan membuat peraturan pemerintah dari UU Perkawinan yang sudah ada.

“PP tentang pelaksanaan hak dan kewajiban supaya tidak terjadi penelantaran rumah tangga, misalnya. Supaya tidak terjadi kekerasan seksual, supaya tidak terjadi diskriminasi terhadap anak,” usul Sri. [rt,fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG