Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) menyoroti masih terus terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender saat memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia. Koordinator GPPI, Rita Serena Kolibonso, mengatakan masih ada 427 peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan.
Karena itulah ia mendorong segera disahkannya sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dapat memberdayakan perempuan, antara lain RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Masyarakat Hukum Adat, serta RUU Perubahan Perkawinan yang dianggap sudah sangat mendesak.
“Pertanyaannya sejauh mana terjadi perubahan di Indonesia, dan mampu melindungi isu akar permasalahan diskriminasi terhadap perempuan dan ketidakadilan gender, dan juga kebijakan-kebijakan pemerintah yang masih diskriminatif di tingkat lokal, atau juga tidak melindungi hak perempuan,” kata Rita Serena Kolibonso.
Pegiat HAM yang juga mantan Komisioner Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah, mengatakan masih banyaknya persoalan yang dihadapi perempuan. Persoalan tersebut tidak lepas dari kegagalan pemerintah dan DPR dalam menyusun serta menghasilkan produk perundang-undangan yang menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, atau sesuai dengan amanat dan rekomendasi komisi CEDAW.
Sejauh ini, katanya, isu kekerasan berbasis gender, kekerasan seksual dan perdagangan perempuan, maupun pelatihan dan pendidikan perempuan, belum menjadi prioritas legislasi nasional.
“Begitu banyak persoalan yang dihadapi oleh perempuan, sebenarnya sekarang momentum hari Hak Asasi Manusia, kemudian kita menyoroti keprihatinan atas persoalan-persoalan. Dan kalau dalam konteks perempuan adalah diskriminasi yang dialami oleh perempuan dalam kehidupannya dan di Indonesia. Komitmen legislatif dan dalam pemenuhan hak perempuan masih dipertanyakan terkait kerap berubahnya prioritas legislasi nasional," Yuniyanti Chuzaifah.
Aktivis perempuan dari Mitra Imadei, Iswanti, menilai sudah saatnya mendesak pemerintah dan DPR melaksanakan hasil rekomendasi CEDAW.
Rekomendasi itu, katanya, adalah meminta komitmen anggota DPR dan pemerintah untuk mengimplementasikan CEDAW yang sudah diratifikasi dan menjadi Undang-undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan konvensi internasional hak-hak ekonomi dan sosial.
"Juga tidak memproduksi undang-undang atau regulasi lainnya yang bertentangan dengan CEDAW,” tukas Iswanti.
Konflik Lahan Masyarakat Adat vs Pemerintah Rugikan Perempuan
Konflik lahan dan hutan antara masyarakat dengan pemerintah atau perusahaan juga menjadi sorotan penting dalam peringatan Hari HAM Sedunia. Aktivis perempuan yang juga mantan komisioner Komnas Perempuan, Saur Tumiur Situmorang, menyatakan GPPI merekomendasikan sejumlah hal terkait pemenuhan hak asasi manusia, terutama bagi kelompok perempuan dan masyarakat hukum adat.
Ia juga mendesak disahkannya RUU Masyakat Hukum Adat yang mengakomodasi hak serta kepentingan perempuan adat di Indonesia.
“Gerakan Perempuan Peduli Indonesia merekomendasikan empat hal, yang pertama pengembalian hak masyarakat hukum adat atas lahan, tanah atau hutan, yang telah dinyatakan oleh Presiden pada 30 Desember 2016, harus disertai dengan pembuatan surat keputusan penetapan wilayah hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta badan Pertanahan (BPN) sebagai jaminan kepastian hukum,” tandas Saur Tumiur Situmorang. [pr/em]