DOHA, QATAR —
Hassan al-Kubaisi menganggap harga bensin yang hanya US$1 per galon di Qatar adalah hadiah dari surga untuk negara yang kaya akan minyak dan gas tersebut.
“Saya bersyukur pada Tuhan bahwa negara kami menghasilkan minyak dan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu yang terendah,” ujar Kubaisi sambil mengisi BBM untuk mobil Toyota Land Cruiser miliknya di sebuah pom bensin di Doha.
"Ini anugerah dari Tuhan.”
Bagi mereka yang mencari respon global untuk perubahan iklim, situasi tersebut lebih merupakan kutukan dibanding anugerah.
Qatar, tuan rumah konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memasuki minggu terakhir pada Senin (3/11), adalah salah satu dari puluhan negara yang mempertahankan harga BBM rendah lewat subsidi yang nilainya secara global melebihi $500 miliar tahun lalu.
Sementara itu, energi terbarukan mendapat dana seperenam dari jumlah tersebut.
“Kita harus menghentikan pemberian dana untuk masalah dan mulai mendanai solusi,” ujar Steve Kretzmann dari Oil Change International, kelompok advokasi untuk energi bersih.
Kelompok tersebut mempresentasikan risetnya pada Senin (4/12) memperlihatkan bahwa selain subsidi BBM di negara-negara berkembang, negara-negara kaya pada 2011 memberikan lebih dari $58 miliar untuk potongan pajak dan subsidi produksi lain kepada industri BBM. Untuk Amerika Serikat, jumlahnya mencapai $13 miliar.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang berkantor di Paris telah menghitung bahwa penghapusan subsidi BBM dapat mengurangi emisi karbon sebanyak lebih dari 10 persen pada 2050.
Namun argumen tersebut baru-baru ini saja menarik perhatian dalam negosiasi-negosiasi iklim, yang selama dua dekade terakhir telah gagal menghentikan kenaikan suhu Bumi yang membuat es di Arktik mencair, permukaan air laut naik dan pola cuaca berubah yang berdampak pada musim paceklik dan banjir.
Di Doha, pembicaraan berjalan lambat karena tarik menarik atas bantuan keuangan untuk membantu negara-negara miskin mengatasi pemanasan global dan bagaimana membagi hak-hak emisi karbon sampai 2020, ketika perjanjian iklim baru yang direncanakan berlaku. Intensitas seruan meningkat, termasuk yang terkait dengan subsidi BBM sebagai salah satu bagian kunci dari pembahasan.
Negara-negara kaya yang tergabung dalam kelompok G-20 menyerukan penghapusan pada 2009, dan isu tersebut juga muncul pada konferensi PBB soal Bumi di Rio de Janeiro awal tahun ini. Frustrasi karena tidak banyak yang terjadi setelah itu, komisioner iklim Uni Eropa Connie Hedegaard mengatakan pada Senin (3/12) bahwa ia berencana membahas isu tersebut dengan para menteri lingkungan hidup di sela-sela konferensi di Doha.
Banyak negara berkembang menyambut positif penghapusan subsidi BBM, tidak hanya untuk melindungi iklim namun juga untuk menyeimbangkan anggaran. Subsidi yang dibuat sebagai fasilitas kesejahteraan beberapa dekade yang lampau telah semakin menjadi beban di banyak negara seiring melonjaknya harga minyak.
Strategi Pembangunan Nasional Qatar untuk 2011-2016 menyatakan bahwa subsidi BBM tidak “sesuai dengan aspirasi-aspirasi” dan tujuan keberlanjutan negara emirat kaya tersebut.
Masalah dalam penghapusan tersebut adalah harga politik yang mahal.
Ketika Yordania menaikkan harga BBM bulan lalu, warga-warga yang marah tumpah ke jalanan, membakar mobil polisi, kantor pemerintahan dan bank-bank swasta dalam protes berkepanjangan yang melanda negara tersebut sejak mulainya gelombang keresahan di dunia Arab. Satu orang tewas dan 75 lainnya terluka dalam kerusuhan tersebut.
Protes dengan kekerasan juga muncul di Nigeria, Indonesia, India dan Sudan tahun ini saat para pemerintah mencoba mendekatkan harga BBM ke harga pasar.
Iran telah melakukan pendekatan bertahap untuk menghapus subsidi BBM pada beberapa tahun terakhir, namun harga BBM di pom besin masih termasuk yang termurah di dunia.
“Orang-orang menganggap itu sebagai sesuatu yang diambil pemerintah dari mereka,” ujar Kretzmann. “Triknya adalah dengan melakukannya tanpa membahayakan orang miskin.”
Lembaga Energi Internasional (IEA) menemukan pada 2010 bahwa subsidi BBM bukanlah langkah efektif dalam mengatasi kemiskinan karena hanya 8 persen dari subsidi tersebut menyentuh bagian dasar dari 20 persen pencari nafkah.
IEA, yang hanya meneliti subsidi konsumsi, pada tahun ini menyatakan bahwa “konsumsi subsidi masih tampak jelas terutama di Timur Tengah dan Arika Utara, di mana momentum menuju reformasi kelihatannya telah hilang.”
Di Amerika Serikat, aktivis lingkungan hidup mengatakan bahwa subsidi BBM termasuk potongan pajak, kredit pajak luar negeri dan kredit untuk produksi bahan bakar non-konvensional.
Kelompok-kelompok industri seperti Asosiasi Petroleum Independen Amerika menentang penghapusan subsidi tersebut karena akan melukai perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, bukannya raksasa minyak.
Di Doha, Mohammed Adow, aktivis iklim dari lembaga Christian Aid, menyebut subsidi BBM “ceroboh dan berbahaya,” dan menggambarkan penghapusan subsidi untuk produksi sebagai keuntungan bagi pemerintah jika mereka serius ingin mengatasi perubahan iklim.
“Subsidi tersebut juga larinya ke perusahaan minyak dan batu bara yang tidak memerlukannya juga,” ujarnya. (AP/Karl Ritter)
“Saya bersyukur pada Tuhan bahwa negara kami menghasilkan minyak dan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu yang terendah,” ujar Kubaisi sambil mengisi BBM untuk mobil Toyota Land Cruiser miliknya di sebuah pom bensin di Doha.
"Ini anugerah dari Tuhan.”
Bagi mereka yang mencari respon global untuk perubahan iklim, situasi tersebut lebih merupakan kutukan dibanding anugerah.
Qatar, tuan rumah konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memasuki minggu terakhir pada Senin (3/11), adalah salah satu dari puluhan negara yang mempertahankan harga BBM rendah lewat subsidi yang nilainya secara global melebihi $500 miliar tahun lalu.
Sementara itu, energi terbarukan mendapat dana seperenam dari jumlah tersebut.
“Kita harus menghentikan pemberian dana untuk masalah dan mulai mendanai solusi,” ujar Steve Kretzmann dari Oil Change International, kelompok advokasi untuk energi bersih.
Kelompok tersebut mempresentasikan risetnya pada Senin (4/12) memperlihatkan bahwa selain subsidi BBM di negara-negara berkembang, negara-negara kaya pada 2011 memberikan lebih dari $58 miliar untuk potongan pajak dan subsidi produksi lain kepada industri BBM. Untuk Amerika Serikat, jumlahnya mencapai $13 miliar.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang berkantor di Paris telah menghitung bahwa penghapusan subsidi BBM dapat mengurangi emisi karbon sebanyak lebih dari 10 persen pada 2050.
Namun argumen tersebut baru-baru ini saja menarik perhatian dalam negosiasi-negosiasi iklim, yang selama dua dekade terakhir telah gagal menghentikan kenaikan suhu Bumi yang membuat es di Arktik mencair, permukaan air laut naik dan pola cuaca berubah yang berdampak pada musim paceklik dan banjir.
Di Doha, pembicaraan berjalan lambat karena tarik menarik atas bantuan keuangan untuk membantu negara-negara miskin mengatasi pemanasan global dan bagaimana membagi hak-hak emisi karbon sampai 2020, ketika perjanjian iklim baru yang direncanakan berlaku. Intensitas seruan meningkat, termasuk yang terkait dengan subsidi BBM sebagai salah satu bagian kunci dari pembahasan.
Negara-negara kaya yang tergabung dalam kelompok G-20 menyerukan penghapusan pada 2009, dan isu tersebut juga muncul pada konferensi PBB soal Bumi di Rio de Janeiro awal tahun ini. Frustrasi karena tidak banyak yang terjadi setelah itu, komisioner iklim Uni Eropa Connie Hedegaard mengatakan pada Senin (3/12) bahwa ia berencana membahas isu tersebut dengan para menteri lingkungan hidup di sela-sela konferensi di Doha.
Banyak negara berkembang menyambut positif penghapusan subsidi BBM, tidak hanya untuk melindungi iklim namun juga untuk menyeimbangkan anggaran. Subsidi yang dibuat sebagai fasilitas kesejahteraan beberapa dekade yang lampau telah semakin menjadi beban di banyak negara seiring melonjaknya harga minyak.
Strategi Pembangunan Nasional Qatar untuk 2011-2016 menyatakan bahwa subsidi BBM tidak “sesuai dengan aspirasi-aspirasi” dan tujuan keberlanjutan negara emirat kaya tersebut.
Masalah dalam penghapusan tersebut adalah harga politik yang mahal.
Ketika Yordania menaikkan harga BBM bulan lalu, warga-warga yang marah tumpah ke jalanan, membakar mobil polisi, kantor pemerintahan dan bank-bank swasta dalam protes berkepanjangan yang melanda negara tersebut sejak mulainya gelombang keresahan di dunia Arab. Satu orang tewas dan 75 lainnya terluka dalam kerusuhan tersebut.
Protes dengan kekerasan juga muncul di Nigeria, Indonesia, India dan Sudan tahun ini saat para pemerintah mencoba mendekatkan harga BBM ke harga pasar.
Iran telah melakukan pendekatan bertahap untuk menghapus subsidi BBM pada beberapa tahun terakhir, namun harga BBM di pom besin masih termasuk yang termurah di dunia.
“Orang-orang menganggap itu sebagai sesuatu yang diambil pemerintah dari mereka,” ujar Kretzmann. “Triknya adalah dengan melakukannya tanpa membahayakan orang miskin.”
Lembaga Energi Internasional (IEA) menemukan pada 2010 bahwa subsidi BBM bukanlah langkah efektif dalam mengatasi kemiskinan karena hanya 8 persen dari subsidi tersebut menyentuh bagian dasar dari 20 persen pencari nafkah.
IEA, yang hanya meneliti subsidi konsumsi, pada tahun ini menyatakan bahwa “konsumsi subsidi masih tampak jelas terutama di Timur Tengah dan Arika Utara, di mana momentum menuju reformasi kelihatannya telah hilang.”
Di Amerika Serikat, aktivis lingkungan hidup mengatakan bahwa subsidi BBM termasuk potongan pajak, kredit pajak luar negeri dan kredit untuk produksi bahan bakar non-konvensional.
Kelompok-kelompok industri seperti Asosiasi Petroleum Independen Amerika menentang penghapusan subsidi tersebut karena akan melukai perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, bukannya raksasa minyak.
Di Doha, Mohammed Adow, aktivis iklim dari lembaga Christian Aid, menyebut subsidi BBM “ceroboh dan berbahaya,” dan menggambarkan penghapusan subsidi untuk produksi sebagai keuntungan bagi pemerintah jika mereka serius ingin mengatasi perubahan iklim.
“Subsidi tersebut juga larinya ke perusahaan minyak dan batu bara yang tidak memerlukannya juga,” ujarnya. (AP/Karl Ritter)