Seorang mantan menteri kabinet, yang dianggap buronan oleh para pemimpin militer Thailand, menyatakan konstitusi sementara negara itu merupakan salah satu dekrit junta militer yang paling menindas.
Jakrapob Penkair, salah seorang pendiri Organisasi Kebebasan Thailand untuk HAM dan Demokrasi (FT-HD) di pengasingan, berbicara kepada VOA melalui Skype dari lokasi yang dirahasiakan di luar Thailand.
“Rezim militer menempatkan diri mereka di atas segala-galanya. Bahkan jika ada majelis nasional yang dipilih atau ditunjuk, atau pemerintah yang dipilih atau diangkat, tetap saja rezim militer yang menentukan,” kata Jakrapob Penkair.
Jakrapob, pemimpin pendiri gerakan "kaos merah", berpendapat militer telah mengembalikan kerajaan Thailand ke sistem politik tahun era 1980-an dan 1990-an ketika partai-partai menjadi demikian lemahnya sehingga terpaksa membentuk pemerintah koalisi yang tidak stabil.
Organisasi internasional Human Rights Watch menyerukan junta militer mengubah apa yang disebutnya "sebuah konstitusi kediktatoran," yang memberi para pemimpin militer "kekuatan penuh tanpa pertanggungjawaban dan tidak memberikan perlindungan terhadap rakyat yang hak-hak azasinya dilanggar”.
Direktur Human Rights Watch untuk Asia, Brad Adams, khawatir beberapa pasal dalam konstitusi sementara dapat diterapkan dalam konstitusi permanen nantinya.
“Ini bisa menjadi benih pemerintahan militer gaya Birma yang akan berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Ini harusnya menjadi kekhawatiran bagi semua orang di wilayah itu dan di seluruh dunia, karena Thailand sejak lama telah menjadi negara demokrasi dan berjalan cukup baik, dibanding banyak negara lainnya,” kata Brad Adams.
Brad Adams memperkirakan, kudeta terbaru di Thailand ini kemungkinan akan berlangsung lebih lama.
Baik wakil dan seorang pembantu pemimpin junta militer pekan ini mengatakan mereka tidak mengesampingkan kemungkinan Jenderal Prayuth Chan-ocha dipilih sebagai perdana menteri. Tapi mereka menekankan bahwa parlemen sementaralah yang akan menentukan pemimpin pemerintahan sampai pemilu berikutnya, diperkirakan sebelum Oktober 2015.
Yingluck Shinawatra dipaksa mundur sebagai perdana menteri tahun ini setelah aksi unjuk rasa berlangsung selama enam bulan di Bangkok.