Studi Center for Economic and Development Studies Universitas Padjajaran mengenai konsumsi rokok dengan peningkatan kasus keparahan pada pasien COVID-19, menunjukkan adanya peningkatan jumlah perokok antara 0,67 hingga 4,75 persen. Sedangkan tingkat kematian lebih tinggi terjadi pada perokok sebesar 0,62 hingga 3,86 persen.
Konsumsi dan perilaku merokok yang cenderung meningkat di masa pandemi ini menjadi keprihatinan tersendiri, karena masyarakat lebih mengutamakan konsumi rokok dibandingkan makanan dan kebutuhan kesehatan.
Hal ini diungkapkan Estro Darianto Sihaloho, Peneliti Center for Economic and Development Studies, Universitas Padjajaran, pada sebuah diskusi bertema Menakar Kembali Pentingnya Cukai Rokok Bagi Ekonomi Kesehatan Indonesia, yang digelar oleh Komisi Nasional Pengendalian Tembakau yang diselenggarakan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Kamis (12/8).
“Perilaku merokok di tengah pandemi COVID-19 dari studi dokumen yang saya lakukan, Komnas Pengendalian Tembakau, dia menyatakan bahwa 13,1 persen memiliki peningkatan belanja rokok selama COVID-19. Sebanyak 49,8 persen punya total belanja yang tetap. Kemudian FK UI lebih tinggi lagi, 20,1 persen responden memiliki peningkatan belanja rokok selama COVID-19. Jadi kita bisa melihat bahwa dengan adanya COVID, tidak membuat orang-orang malah menurunkan konsumsi rokoknya," katanya.
Yurdhina Meilissa, dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), mencatat adanya beban ekonomi yang semakin meningkat di tengah pandemi, pada keluarga atau masyarakat yang menjadi perokok aktif. Ini disebabkan belanja rokok masih menjadi prioritas keluarga dengan perokok aktif.
“Biaya kesehatan akibat merokok itu sangat besar, sampai rangenya itu paling tinggi Rp. 27,7 Triliun. Dan sebagian besar kita bisa lihat itu ditanggung oleh BPJS Kesehatan," katanya.
Kenaikan Cukai Rokok Diharap Turunkan Prevalansi Perokok Anak dan Remaja
Asisten Deputi Bidang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit, Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Nancy Dian Anggraeni, menegaskan perlunya semua pihak mengkampanyekan bahaya merokok yang dapat meningkatkan risiko penyakit penyerta saat pandemi corona. Selain itu, upaya menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja harus lebih diutamakan melalui kenaikan cukai rokok, karena angka perokok anak di Indonesia sudah sangat tinggi.
"Secara angka, anak Indonesia yang menjadi perokok itu sangat tinggi. Kalau kita bisa hitung berdasarkan Riskesdas (riset kesehatan dasar) di tahun 2018, itu sekitar 3,3 juta anak yang menjadi perokok, usia 10 sampai 18 tahun. Dan ini kalau kita analogikan, kita bandingkan dengan COVID sekarang, itu kasusnya juga sekitar 3 jutaan lebih, dan itu sudah dibilang sebagai bencana nasional.”
Hal senada disampaikan Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas, Pungkas Bahjuri Ali. Kenaikan harga rokok agar sulit dijangkau masyarakat miskin, ujarnya, harus menjadi tujuan utama meski tidak harus menurunkan jumlah produksi rokok oleh industri.
Pungkas mengatakan, tarif cukai rokok seharusnya lebih diperuntukkan bagi petani serta industri kecil di bidang tembakau yang memerlukan proteksi dari kondisi ekonomi yang tidak stabil, bukan digunakan sebagai pendanaan pada jaminan kesehatan nasional.
“Sebenarnya bahwa tarif cukai digunakan untuk JKN, kalau menurut saya kurang tepat sebenarnya. Karena sebenarnya cukai itu seharusnya dimanfaatkan oleh para petani, membantu para industri, termasuk membantu mereka yang ingin keluar dari industri. Sebenarnya kalau kita tarik garis besarnya, kenaikan cukai yang bisa kita manage dengan baik, penyederhanaan tarif yang bisa kita manage dengan baik, cukai adalah bertahap. Tarifnya kita hitung betul, berapa persen tepatnya. Kemudian simplifikasi kita atur betul, mana yang kita ingin pegang, kita ingin keberpihakan kita ada di mana. Kalau industri kecil bisa kita pegang, kita bisa proteksi dengan afirmasi," paparnya.
Sementara itu, Asisten Deputi Pengembangan Industri, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Atong Soekirman, menyebut kenaikan cukai rokok hingga diatas 10 persen telah membawa dampak bagi industri rokok serta pengolahan tembakau. Ini dapat dilihat dari turunnya jumlah industri rokok secara drastis, terutama saat masa pandemi.
“Kebijakan cukai yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan, itu sangat berdampak terhadap unit bisnisnya. Di tahun 2004 kebawah itu ada 4.000 pabrikan, sekarang tinggal sekitar 400-500 pabrik. Artinya apa, ini berarti sebetulnya tolls atau instrumen yang sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan dengan kebijakan tarifnya, baik rokok konvensional maupun nanti ke rokok sigaret, itu sangat mempengaruhi industri.”
Plt Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Kartini Rustandi, mengatakan perlunya kerja bersama dalam melindungi generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa dari bahaya rokok, sekaligus menjamin kesejahteraan dan kesehatan masyarakat.
“Prinsip pengendalian tembakau ini memang tidak bisa hanya dalam satu arah. Kita perlu melakukan secara komprehensif dilihat dari berbagai sudut, karena ini akan terkait juga dengan masalah ekonomi, kesejahteraan masyarakat, kesehatan. Tapi tentunya kita harus melakukan kolaborasi dengan baik, dan juga memikirkan, memperhatikan pentingnya kondisi generasi muda kita sebagai investasi bangsa.”
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany, berharap kenaikan cukai rokok yang tinggi akan berpengaruh signifikan terhadap upaya menurunkan prevalensi perokok anak dan remaja di Indonesia. Hasbullah memastikan, kenaikan cukai rokok bukan untuk menutup industri rokok, namun lebih pada upaya melindungi kesehatan masyarakat dan generasis muda.
“Kami sangat mengimbau agar kita menyatukan pandangan, bahwa cukai rokok perlu dinaikkan, agar anak-anak, orang miskin tidak lagi membeli rokok. Kalau kementrian, pemerintah mau produksi rokok untuk ekspor, wah kami senang sekali. Yang kami perjuangkan bukan menyetop industri rokok, bukan menyetop produksi rokok. Yang kami perjuangkan adalah bebaskan rakyat kita dari racun-racun rokok, agar kita bisa sehat produktif.” [pr/em]