Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mendesak pemerintah untuk segera merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, karena dinilai sudah tidak efektif secara infrastruktur dan substansi hukum.
Beberapa hal yang menjadi sorotan dalam PP 109 Tahun 2012, adalah soal peringatan kesehatan bergambar atau PHW (pictorial health warning) yang dinilai masih terlalu kecil dan tertutup pita cukai rokok, serta belum diaturnya rokok elektronik yang mulai banyak disukai anak dan remaja masa kini.
Tulus dalam webinar terkait pengendalian tembakau, Rabu (30/9), menegaskan revisi peraturan ini sangat mendesak karena semakin tingginya prevalensi merokok pada anak yang sudah mencapai angka 10 persen.
“Di dalam RPJMN ini juga memandatkan pemerintah akan melarang iklan rokok secara total. Ini juga sangat mendesak karena Indonesia salah satu atau satu-satunya negara di dunia yang masih melegalkan iklan rokok di semua lini, baik di media massa, media luar ruang, ataupun televisi, dan juga di media digital,” jelas Tulus.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mendorong revisi PP 109 Tahun 2012, untuk memastikan terlindunginya anak-anak dari bahaya rokok bagi kesehatan. Perlindungan itu berkaitan dengan larangan bagi penjual untuk menjual rokok kepada anak, melarang penjualan rokok batangan atau eceran, meningkatkan harga cukai rokok, serta edukasi secara simultan kepada anak.
Ketua KPAI, Susanto, mengatakan, faktor lingkungan sosial dan pembiaran yang dilakukan orang tua, menjadi penyebab utama anak-anak di Indonesia merokok. Edukasi dan penegakan hukum sangat diperlukan, agar anak terhindar dari bahaya rokok sejak dini.
“Sebagian masyarakat kita memang masih banyak sekali yang melihat anak merokok kemudian tidak melarang. Orang dewasa juga banyak sekali yang merokok di depan anak-anak, ini kan juga bisa menjadi inspirasi kenapa anak berani mencoba (merokok),” kata Susanto.
Data Riskesdas : Jumlah Perokok Terus Meningkat
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), mencatat jumlah perokok Indonesia tahun 2018 sebesar 33,8 persen. Angka ini meningkat dari tahun 2013 sebanyak 64,9 juta jiwa, menjadi 65,7 juta jiwa di tahun 2018.
Peningkatan prevalensi perokok terjadi pada usia 10-18 tahun, dari 7,2 persen di tahun 2013 menjadi 9,1 persen di 2019. Selama 2007-2018, perokok pemula meningkat 240 persen, dari 9,6 persen menjadi 23,1 persen. Perokok usia 15-19 juga meningkat 140 persen, dari 36,3 persen menjadi 52,1 persen.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Oscar Primadi, menegaskan komitmen pemerintah untuk mewujudkan terciptanya masyarakat Indonesia yang sehat, melalui revisi PP 109 Tahun 2012, yang telah direncanakan melalui Perpres 18 tahun 2020 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
RPJMN ini diharapkan akan menjadi dasar revisi peraturan pemerintah yang akan mengendalikan konsumsi tembakau di Indonesia, di antaranya melalui pelarangan total iklan dan promosi rokok, serta perbesaran pencantuman peringatan bergambar bahaya merokok di bungkus rokok minimal 75 persen.
Pembesaran peringatan bergambar bahaya merokok maupun pelarangan total iklan dan promosi rokok, diharapkan dapat mengurangi prevalensi perokok anak di Indonesia.
“Peringatan kesehatan bergambar ini salah satu instrumen edukasi yang efektif, sudah kita yakini bersama, utamanya bagi anak dan remaja, serta para perokok pemula, sehingga diupayakan untuk tetap kita lakukan pembesaran sebagai amanah dari Permenkes 40 Tahun 2013, tentang roadmap pengendalian tembakau dan RPJM yang saya sebutkan,” kata Oscar Primadi. [pr/em]