Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa jumlah korban meninggal dalam bencana alam di Nusa Tenggara Timur bertambah sembilan orang dari hari sebelumnya, menjadi 174 jiwa pada Sabtu (10/4). Sebanyak 48 orang masih hilang.
Korban meninggal berasal dari delapan kabupaten dan satu kota. Dari total korban meninggal per Sabtu (10/4), Kabupaten Flores Timur mencatat korban jiwa terbanyak, yaitu 71 orang. Sebanyak lima orang masih dinyatakan hilang.
Perincian korban meninggal dan hilang di kabupaten/kota lainnya, 46 orang meninggal dan 22 hilang di Kabupaten Lembata. Di Kabupaten Alor, 28 orang meninggal dunia dan 13 hilang, sementara di Kabupaten Kupang, 12 orang meninggal dan tiga masih hilang.
Di Kota Kupang tercatat enam meninggal dan tidak ada korban hilang, sedangkan di Kabupaten Ende dan di Sikka masing-masing 1 meninggal.
Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan upaya pencarian akn terus dilakukan untuk menemukan para korban yang hilang sejak wilayah itu dilanda bencana banjir, banjir bandang, longsor dan angin kencang yang disebabkan siklon tropis Seroja pada 4 April 2021.
“Kita akan mencari terus hingga optimal,” kata Doni dalam konferensi Pers daring dari Posko Kantor Gubernur NTT, di Kota Kupang.
Dia menambahkan pencarian korban dalam tiga hari terakhir sudah melibatkan dukungan anjing pelacak (SAR Dogs).
Material Longsor Persulit Pencarian
Aswandi dari Basarnas Makassar, yang melakukan pencarian korban di Desa Amakaka, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, mengatakan material longsor disertai batu-batu besar dari gunung menutupi perumahan di kaki gunung sehingga menyulitkan pencarian.
Dia mengatakan keberadaan anjing pelacak sangat membantu upaya pencarian para korban yang diduga tertimbun material longsoran.
“Kami juga sudah menggunakan (anjing) K-9 untuk memastikan keberadaan korban dari hasil pencarian K-9 karena korban yang kami dapat selama berada di sini semua berada di bawah material longsoran tersebut,” papar Aswandi kepada VOA.
Dia dan sembilan rekannya dari Basarnas Makassar telah berada di Amakaka sejak Rabu (7/4).
Menurutnya, fasilitas listrik dan komunikasi belum sepenuhnya pulih, khususnya di wilayah terdampak bencana.
“Untuk daerah yang terjadi banjir bandang dan longsor itu, untuk listrik masih dalam perbaikan. Karena belum ada listrik sehingga jaringan komunikasi pun agak sulit. Jadi untuk kebutuhan pelaporan (operasi SAR), kami semuanya keluar dari lokasi longsor,” tutur Aswandi.
Katanya, butuh sekitar 30 menit untuk mencapai lokasi yang memiliki jaringan telepon dan internet yang bisa diakses dari ponsel.
Mitigasi Bencana di Musim Hujan
Dalam kesempatan yang sama, Kepala BNPB Doni Monardo meminta agar seluruh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk mengurangi risiko bencana alam saat musim hujan, seperti banjir bandang dan longsor.
Dia mengatakan pemukiman penduduk yang berada di lembah sekitar aliran sungai dan di lereng-lereng gunung dengan kemiringan di atas 30 derajat perlu meningkatkan kewaspadaan. Curah hujan tinggi dan penyumbatan aliran sungai, katanya, bisa mengakibatkan penumpukan volume air.
“Ketika volume air semakin besar dan sumbatan itu tidak mampu lagi menahan beban air, maka menimbulkan banjir bandang. Inilah yang terjadi di sejumlah daerah wilayah NTT, baik di Alor, Lembata dan juga di Adonara,” papar Doni.
Upaya mitigasi lainnya, yaitu mengindentifikasi adanya penyumbatan di aliran sungai melalui kegiatan susur sungai sehingga bisa segera mengambil langkah untuk menormalkan aliran sungai agar tidak terjadi banjir bandang.
Namun, Doni mengingatkan agar susur sungai dilakukan oleh petugas terlatih dari organisasi pencinta alam, Basarnas, TNI/Polri dan BPBD. [yl/ft]
n