Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi masalah pemerintahan dan otonomi daerah, Saan Mustafa mengatakan, surat edaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengatur tentang petahana menyebabkan pencegahan dinasti politik seakan menjadi setengah hati.
Surat Edaran KPU No. 302/KPU/VI/2015 menjelaskan beberapa aturan di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 9/2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah.
Surat tersebut mendefinisikan petahana sebagai kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran, mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir yang dilakukan sebelum masa pendaftaran, atau berhalangan tetap sebelum masa jabatannya berakhir dan terjadi sebelum masa pendaftaran.
Surat edaran tersebut, menurut Saan, seakan bertentangan dengan Undang-undang tentang pemilihan kepala daerah, sebab salah satu pasal dalam undang-undang itu berbunyi bahwa warga negara Indonesia yang dapat menjadi kepala daerah adalah yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Padahal sebelumnya, DPR sangat serius mencegah dinasti politik melalui pengesahan undang-undang pemilihan kepala daerah, ujarnya, menambahkan bahwa keseriusan parlemen tersebut dikarenakan buruknya dampak dinasti politik.
Surat edaran KPU, tambahnya, menyebabkan banyak kepala daerah mundur agar dapat mencalonkan keluarganya.
"Dampak dari surat edaran itu tadi konflik kepentingan. Kalau mundurnya sebelum pendaftaran anggap saja pendaftar 26 Juli, verifikasinya awal Agustus bahwa secara fisik sudah mundur, bisa saja mereka telah melakukan mutasi di beberapa bagian. Itu adalah akibat petahana yang mengundurkan diri maka otomatis pengaruhnya akan ada. Yang namanya kekuasaan itu bukan semata fisik tetapi yang paling penting adalah pengaruh," ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan pengamat politik dari Populi Center, Niko Harjanto. Dia mengungkapkan politik dinasti kekerabatan ini masih sangat besar sehingga harus dilakukan pembatasan.
"Dengan surat edaran yang lebih teknis saja itu sebenarnya sudah menunjukan cara untuk menghindari untuk pelabelan petahana," ujarnya.
Sementara itu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arif Budiman mengatakan lembaganya masih membahas apakah Surat Edaran tentang petahana akan direvisi atau dicabut.
"Sampai hari ini pun sebenarnya semangat kita masih sama jadi KPU, pemerintah dan DPR bahwa politik dinasti tidak boleh berterusan begini karena memang dampaknya bisa baik bisa buruk, tetapi dampak yang terlihat saat ini lebih banyak buruknya ketimbang baiknya," ujarnya.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Faridz mengatakan, surat edaran KPU membuat 22 petahana berpotensi memuluskan keluarganya menjadi calon kepala daerah. Masa jabatan 22 petahana itu habis sebelum 26 Juli saat pendaftaran calon kepala daerah dimulai.