Deputi V Bidang Polhukam dan HAM KSP, Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintah masih mengkaji kebijakan penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil. Menurutnya, kebijakan tersebut hingga saat ini belum final. Meskipun saat ini sudah ada 19 kementerian lembaga yang diduduki prajurit aktif TNI, di luar kementerian dan lembaga yang dibolehkan Undang-undang nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI
"Ini sedang dalam proses ini belum final, kita tunggu saja kawan-kawan di Kementerian Pertahanan maupun TNI melakukan ini. Ini belum final, masih dalam proses. Saya bilang jangan khawatir," jelas Jaleswari saat ditemui VOA di Balai Sarwono, Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Kendati menjamin Dwifungsi ABRI tidak akan kembali, Jaleswari tidak memberikan alasan pasti kebijakan orde baru tersebut tidak muncul kembali. Akhir Februari lalu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto telah bertemu Ombudsman untuk membahas persoalan ini. Dalam pertemuan tersebut Ombudsman telah mengingatkan potensi maladministrasi terkait penempatan perwira TNI di jabatan sipil.
Menurut Anggota Ombudsman Ninik Rahayu, Wiranto setuju untuk mengkaji terlebih dahulu rencana tersebut sebelum diberlakukan. Menurutnya, Menkopolhukam tidak ingin wacana ini menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Namun, dalam pertemuan tersebut, menurut Ombudsman, Wiranto juga meminta masyarakat tidak terjebak dengan istilah "Dwi Fungsi ABRI" terkait kebijakan penempatan perwira aktif TNI di jabatan sipil.
Kontras: Penempatan Perwira Aktif di Jabatan Sipil Upaya Hidupkan Dwifungsi ABRI
Menanggapi pernyataan Jaleswari, Koordinator Kontras Yati Andriani mengatakan secara substansi penempatan perwira aktif di jabatan sipil sudah dapat dikatakan sebagai upaya menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI. Meskipun, upaya tersebut tidak seperti era orde baru, yakni tentara masuk ke semua ranah sipil, sosial dan politik.
Namun, penempatan prajurit TNI tersebut juga bertentangan dengan UU TNI yang dibuat salah satunya untuk mencegah kembalinya Dwifungsi ABRI. Karena itu, kata Yati, pemerintah dan TNI perlu mematuhi Undang-undang tersebut, bukan sebaliknya kembali melanggar aturan yang sudah dibuat.
"Terlihat sekali ada upaya-upaya tidak mengikuti aturan-aturan yang sudah ada dalam UU TNI. Khususnya pasal 47 mereka harus mengundurkan diri terlebih dahulu atau dalam masa pensiun. Apa yang dimaksud dijamin tidak kembali Dwifungsi. Substansinya kan tidak berubah, kebijakan ini memberikan kesempatan kepada militer untuk duduk di jabatan sipil," jelas Yati kepada VOA.
Yati menambahkan sudah ada 41 kementerian dan lembaga yang menandatangani MoU dengan TNI. Padahal, UU TNI hanya membolehkan prajurit aktif TNI menduduki jabatan di 10 kementerian lembaga, antara lain Kemenkopolhukam, Kementerian Pertahanan dan Badan Sandi Negara.
Kendati praktik tersebut sudah lazim tanpa aturan, Yati tidak setuju jika pemerintah mengambil upaya untuk membuat aturan untuk melegalkan praktik tersebut. Sebab, kata dia, selain bertentangan dengan UU TNI, kebijakan ini juga akan memperlemah pemerintahan sipil yang sudah berlangsung selama reformasi.
"Sekali lagi ini bukan soal normatif legalistik. Tapi ini adalah semangat bagaimana pemerintahan sipil yang kuat. Dalam sebuah negara demokrasi yang harus kuat tentu saja pemerintahan sipil. Sementara tentara harusnya fokus pada agenda-agenda misi pertahanan dan keamanan," imbuhnya. (sm/em)