Amnesty International Indonesia mengkritik kegiatan deklarasi damai yang dilakukan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) bersama korban peristiwa Talangsari pada 1989. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, kegiatan yang dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan semua korban dan keluarga korban itu telah merampas hak-hak korban pelanggaran HAM berat yang kasusnya masih bergulir di Komnas HAM dan Jaksa Agung.
"Deklarasi damai sepihak yang berbunyi bahwa semua pihak telah bersepakat untuk tidak melanjutkan proses hukum. Itu kami pandang sebagai usaha untuk mendelegitimasi institusi Komnas HAM, Jaksa Agung dan DPR RI yang memiliki wewenang sesuai undang-undang untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum tahun 2000, dalam hal ini peristiwa Talangsari," jelas Usman kepada VOA, Selasa (26/2).
Usman menambahkan lembaganya telah berkomunikasi dengan perwakilan Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (P2KTL). Menurutnya, para korban mengatakan mereka tidak dilibatkan atau dimintai masukan dan pandangan atas langkah pemerintah tersebut.
Usman menduga kegiatan deklarasi damai ini dilakukan pemerintah untuk membersihkan nama pemerintah menjelang pemilihan presiden 2019. Sebab, pemerintahan Jokowi selama ini dinilai gagal dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial dan non-yudisial.
Pada 20 Februari 2019 lalu, Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di bawah Kemenkopolhukam mengadakan pertemuan dengan Wakil Bupati, Ketua DPRD Lampung Timur, Forkompimda Lampung Timur, tokoh masyarakat, dan warga melakukan “Deklarasi Damai” untuk peristiwa Talangsari. Mereka kemudian menandatangani dokumen yang poin-poinnya menyatakan tidak akan melanjutkan kasus Talangsari, Kecamatan Way Jepara di Kabupaten Lampung Timur pada tahun 1989.
Poin lainnya yaitu telah dilakukannya pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi dan proses penanganan dalam bentuk pemenuhan hak-hak dasar korban dan keluarga korban.
Kemenkopolhukam: Pemerintah Tak Dapat Intervensi Penyelesaian Hukum Kasus Talangsari
Menanggapi kritik Amnesty Internasional Indonesia, Tenaga Ahli Kementerian Koodinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia, Sri Yunanto menegaskan pemerintah tidak dapat melakukan intervensi kasus Talangsari. Menurutnya, penuntasan kasus ini sepenuhnya menjadi kewenangan Komnas HAM dan Jaksa Agung.
Namun, ia mengakui belum melihat langsung perjanjian deklarasi damai tersebut. Hanya, ia membantah jika pertemuan tersebut tidak melibatkan korban seperti yang disampaikan sejumlah LSM.
"Di Talangsari ini, ketika saya tanya yang turun ke sana. Memang semua stakeholders ada unsur pemerintah, non pemerintah dan ada versi yang turun ke sana juga ada sebagian korban. Mungkin tidak semua korban ya, sebagian korban yang melihat kasus Talangsari ini dari banyak segi," jelas Yunanto kepada VOA, Rabu (27/2).
Yunanto mempersilakan LSM dan korban lainnya mendorong Komnas HAM dan jaksa agung jika ingin tetap menuntaskan kasus ini melalui mekanisme yudisial.
Berkas kasus Talangsari telah dikembalikan Jaksa Agung pada 27 November 2018. Komnas HAM kemudian mengembalikan kembali berkas kepada Jaksa Agung pada 19 Februari 2019. Komnas HAM menyatakan berkas-berkas yang dikembalikan oleh jaksa agung tidak memiliki petunjuk baru atas barang bukti atau kesaksian apa yang harus dilengkapi.
Kasus Talangsari bermula dari dugaan bahwa sebuah kelompok pengajian di Talangsari, Lampung, ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Ketika upaya dialog yang dilakukan gagal, militer menyerang warga sipil secara brutal. Empat puluh lima orang tewas, 5 orang diperkosa, 88 orang hilang, 36 orang disiksa, dan 173 lainnya ditahan sewenang-wenang. Dua puluh tiga orang telah menjalani proses pengadilan yang tidak adil, dan banyak rumah warga yang dihancurkan. (sm/em)