Ketua Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Dr Gabriel Lele menyebut, ada dua kata kunci yang harus dipahami untuk mengubah wajah Papua. Keduanya adalah kedamaian dan harga diri. Gabriel mengatakan, mengubah wajah Papua bisa dilakukan melalui interve
“Tetapi yang paling pokok bagi Papua adalah bagaimana pengakuan terhadap harkat dan martabat, dan itu ditekankan dalam berbagai regulasi, termasuk UU 2 2021. Cuma yang kita lihat, instrumentasi
Akui Ada Masalah
Sayangnya, kata Gabriel, masih banyak sikap pemerintah yang dinilai belum tepat dalam menyelesaikan masalah Papua. Salah satunya adalah pengingkaran terhadap masalah di Papua. Padahal, dalam pendekatan kebijakan publik, titik tolak terpenting menyelesaikan masalah, adalah mengakui bahwa memang ada masalah.
“Terlepas dari kompleksnya masalah Papua, diskusi-diskusi atau upaya untuk menyelesaikan masalah Papua harus dimulai dengan pengakuan bahwa memang ada konflik di Papua,” kata Gabriel.
Dengan mengakui adanya masalah, akar penyebab konflik dapat dilacak.
Kajian Gugus Tugas Papua menemukan, beberapa persoalan di sana terkait dengan pembangunan dan keterbelakangan. Ada yang bersifat ekonomi-politik karena perebutan sumber daya alam. Ada pula yang bersifat historis-ideologis, yang berpedoman bahwa masa depan Papua hanya bisa dibangun jika masa lalunya telah diselesaikan.
Pemerintah pusat berusaha membangun legitimasi di Papua melalui pembangunan infrastruktur. Tetapi Gugus Tugas Papua mencatat, narasi pemerintah untuk dinilai hadir di Papua tidak terbaca oleh OAP.
“Kami mencatat terjadi krisis legitimasi sosial. Ini berkaitan dengan pengakuan atau penerimaan. Jadi pemerintah melakukan banyak hal, tetapi di sisi yang lain masyarakat kadang-kadang masih berpikir, bahwa pemerintah tidak melakukan apa-apa. Atau yang dilakukan itu tidak tulus,” beber Gabriel.
Menurut Gabriel, seluruh pihak harus terlibat menyelesaikan masalah itu. Pemerintah harus yakin bahwa yang dibangun bukan hanya Papua, tetapi juga OAP.
Dua Konteks Pembangunan
Akademisi Universitas Cenderawasih, Papua, Elvira Rumkabu menilai, ada dua konteks besar terkait upaya membangun Papua. Keduanya, adalah konteks konflik dan masyarakat adat.
“Saya pikir, konteks ini yang membua
Konteks konflik bertumpu pada kenyataan yang berlarut-larut, yang sedang terjadi, dan adanya potensi konflik pada masa depan. Sedangkan konteks masyarakat adat adalah bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintah, belum tentu sesuai dengan kebutuhan di mana masyarakat adat tinggal.
“Masyarakat adat sendiri tidak tunggal. Dia sangat beragam,” tambah Elvira.
Persoalan bertambah karena di sisi lain, Papua memiliki status Otonomi Khusus (Otsus). Meski dinarasikan membawa lebih banyak manfaat, Elvira menyebut tidak jarang terlihat bahwa pembangunan di Papua seolah berjalan sendiri. Proses itu lepas dari dua konteks yang dia sebut di atas.
“Jalan atau jembatan dibangun tanpa melihat wilayah konflik. Dibangun saja. Menurut saya, ada pengabaian. Tidak terlalu sensitif konflik dan kebutuhan masyarakat,” ujarnya lagi.
Yang disebut sebagai konflik oleh Elvira, tidak terbatas pada konflik bersenjata. Dalam paparannya, Elvira memasukkan marjinalisasi
Tidak mengherankan, kata Elvira, selalu muncul pertanyaan besar terkait pembangunan di Papua, sebenarnya untuk siapa?
Pemerintah Klaim Perubahan Pendekatan
Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas, Velix Vernando Wanggai menyebut pola setiap pemimpin dalam membangun Papua berbeda-beda.
“Sebetulnya di era Presiden SBY, Presiden Joko Widodo, tentu masing-masing memiliki konteks kebijakan, cara menangani dan memberikan prioritas terhadap persoalan yang ada,” kata Velix dalam diskusi ini.
Selain masing-masing presiden memiliki catatan langkah positif, mereka juga menghadapi pekerjaan rumah.
Prinsipnya, perencanaan pembangunan di Papua telah didiskusikan dengan banyak pihak, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Pengalaman yang berbeda, yang dimiliki pihak-pihak itu, digunakan sebagai referensi menangani masalah Papua. Tidak hanya di dalam negeri, pengalaman penanganan konflik di luar negeri juga dimanfaatkan.
Pemerintah, tambah Velix, juga telah menerapkan berbagai pendekatan berdasar perencanaan yang sensitif dan pendekatan pembangunan yang berorientasi kedamaian.
“Konsep peace to development, kita lihat bahwa ada hal menarik dalam transformasi konflik. Kita belajar dari pengalaman Aceh, transformasi konflik yang diakomodasi dengan institusional desain baru,” lanjutnya.
Praktiknya adalah perubahan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi partai politik di Aceh, sebagai sarana menyalurkan aspirasi.
Dalam pembangunan, Velix meminta tidak hanya berkaca pada program-program infrastruktur besar. Program pemerintah yang langsung menyentuh masyarakat, seperti penyediaan air bersih, sanitasi, perumahan, hingga jalan lingkungan, layak dilihat. Begitu juga konsep pengembangan pasar-pasar, yang diharapkan menjadi perangkat interaksi sosial antara suku dan antar agama.
“Sehingga infrastruktur juga bisa menjadi sarana relasi sosial di berbagai titik,” ucap Velix.
Yang terakhir adalah pembangunan sarana Pekan Olahraga Nasional (PON), yang harus dilihat juga sebagai upaya menyediakan ruang publik.
Namun dia juga mengakui, perubahan pendekatan yang dilakukan bukan sesuatu yang mudah. Apalagi setiap kementerian memiliki program dan aturan hukum sektoral, meski sama-sama membangun Papua.
Unggulkan Narasi Pembangunan
Pendiri Watchdog Documentary yang juga jurnalis Dandhy Dwi Laksono menyebut, apa yang terjadi dalam era presiden sebelum Jokowi dan selama era Jokowi di Papua sebenarnya sama saja. Di sana tetap ada pembunuhan, pengungsi, operasi militer, muncul tahanan politik, terjadi represi kebebasan berpendapat, hingga pembatasan akses media. Persekusi dan rasisme, eksploitasi lingkungan, represi kebebasan berpendapat, konflik agraria, dan ketegangan
Di samping itu, ada 1.017 orang ditangkap pada 2019, 22 tahanan politik makar, 135 tahanan politik non-makar, 132 kasus kriminalisasi melalui UU ITE dengan 157 korban termasuk 15 aktivis dan 4 jurnalis.
Padahal, Indonesia sangat membutuhkan Papua.
“Semua narasi tentang usaha memberadabkan masyarakat Papua. Semua narasi membangun jalan Trans Papua, meningkatkan pelayanan, dan segala macam, saya pikir selalu tidak diimbangi dengan pengakuan, bahwa kita memang butuh Papua, seperti halnya Nederland membutuhkan Hindia Belanda,” kata Dandhy.
Pemerintah, kata Dandhy mengkampanyekan politik afirmasi. Termasuk kampanye tentang dana Otsus lebih Rp 130 triliun selama 20 tahun terakhir. Namun, tidak pernah disebutkan bahwa Blok Wabu saja, yang sekarang siap digarap, valuasinya lebih dari Rp 300 triliun.
“Sebenarnya, kita yang lebih butuh Papua dan kita mengambil lebih banyak dari Papua, dan kita menghibur diri dengan narasi tentang pembangunan dan segala macam,” lanjut Dandhy.
Masyarakat Papua juga tahu bahwa jalan Trans Papua yang melewati Intan Jaya adalah akses ke Blok Wabu. Pola ini mirip dengan langkah pemerintah Belanda membangun rel kereta api di Jawa sebagai jalur ekonomi tebu.
“Jalan selebar sembilan meter-15 meter jelas tidak untuk mengangkut hasil bumi atau sayur. Jelas untuk sesuatu yang lebih besar dari ekonomi masyarakat rata-rata,” paparnya. [ns/ka]