Untuk menyelesaikan persoalan Papua ini, Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tubagus Hasanuddin dalam diskusi soal Papua, hari Kamis (2/12), mengakui penetapan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua oleh pemerintah pada 25 April lalu, mereduksi isu Papua menjadi masalah keamanan.
"Dengan menetapkan (KKB) sebagai teroris, justru mempersempit ruang untuk melakukan dialog atau rekonsiliasi. Padahal selama 34 tahun negara melakukan operasi militer, dengan 13 operasi militer, itu juga tidak pernah selesai. Berikutnya menambah efek trauma kekerasan bagi orang asli Papua," kata Hasanuddin.
Dampak lainnya adalah dapat mengganggu upaya mendorong pembangunan orang asli Papua yang lebih komprehensif, korban jiwa dapat terus bertambah dan anggaran negara makin terkuras untuk operasi kontraterorisme.
Karena itu, Hasanuddin setuju mengedepankan pendekatan humanis. Dia sepakat dengan hasil tim penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang empat isu menjadi sumber utama konflik di Papua.
Empat sumber utama konflik di Papua yaitu masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia, masalah operasi militer, semua hal yang membuat masyarakat Papua timbul stigma sebagai orang yang termajinalkan serta kegagalan pembangunan Papua.
Hasanuddin mengungkapkan selama 1966-2000 terdapat 13 kali operasi militer di Papua yang menimbulkan trauma, yakni Operasi Brata Yudha (1966-1967), Operasi Sadar dan Operasi Wibawa, Operasi Pamungkas (1970-1974), Operasi Senyum (1977-1978), Operasi Sapu Bersih (1978-1982), Operasi Gagak I dan Gagak II (1985-1987), Operasi Kasuari I dan Kasuari II (1987-1989), Operasi Rajawali, Rajawali II dan Rajawali III (1989-1995), serta Operasi Pengamanan Daerah Rawan (1998-2000).
Ditambakannya, konsep penyelesaian persoalan di Papua tidak konsisten. Dia mencontohkan pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) pada 2011-2014 kurang efektif dan tidak efisien. Selain itu, meski ada pendekatan kesejahteraan, pemerintah tetap mengirim ribuan personel keamanan ke Papua.
Menurut Hasanuddin, penerapan status otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat yang berlaku sejak 2001 tidak maksimal. Dia mempertanyakan penetapan otonomi khusus tanpa peraturan presiden sebagai acuan operasional sehingga otonomi khusus ini tidak bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien. Bahkan diduga membuka celah korupsi dana otonomi khusus.
Berdasarkan hasil penelitian dari Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, setidaknya terjadi 204 kekerasan selama 2010-2020. Terdiri dari 118 kasus (57 persen) oleh gerakan Papua Merdeka, 42 kasus (21 persen) oleh warga sipil, 28 kasus (14 persen) oleh aparat TNI dan Polri, dan 16 kasus (7 persen) oleh orang tidak dikenal.
Jumlah korban dari 204 kasus kekerasan itu adalah 1.869 orang, termasuk 356 orang meninggal. Korban tewas ini terdiri dari 250 orang (70 persen) warga sipil), 46 orang (13 persen) personel TNI, 34 orang (9 persen) personel Plri, dan 26 orang (7 persen) anggota gerakan separatis.
Komnas HAM Sejak Awal Tolak Penetapan KKB Sebagai Organisasi Teroris
Dalam diskusi tersebut, Ketua Komisi Nasinal Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik menekankan sedari awal lembaganya memang menolak penetapan status KKB di Papua sebagai organisasi teroris karena hanya akan melanggengkan kekerasan.
Taufan Damanik menjelaskan berdasarkan pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, pelangaran yang terjadi terhadap orang Papua adalah pelanggaran atas hak untuk hidup, hak atas kebebasan pribadi termasuk berpendapat, hak memperoleh keadialan, hak atas rasa aman dan hak untuk tidak diperlakukan diskriminatif.
Menurut Taufan Damanik, Komnas HAM sudah menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah untuk membantu penyelesaian persoalan di Papua.
"Menurut kami adalah suatu yang mendesak untuk segera memperbaiki kondisi hak asasi manusia karena itu terkait dengan eksistensi dan masa depan orang asli papau terutama di dalam Indonesia. Sehingga tidak lagi ada perasaan bahwa dia tidak dianggap menjadi bagian dari Indonesia" ujar Taufan Damanik.
Taufan Damanik mengatakan perbaikan kondisi HAM di Papua ini mendasar karena berkaitan dengan harkat dan martabat orang-orang yang menjadi korban siklus kekerasan di Papua, serta orang asli Papua menjadi korban buruknya kondisi kesehatan dan pendidikan di Papua.
Juga dibutuhkan sinkronisasi dan memadukan penanganan di bidang ssosial politik dan sosial ekonomi dalam upaya menghentikan kekerasan di Papua. Komnas HAM meminta kepada pemerintah untuk memperlebar ruang dialog agar masyarakat bisa menyampaikan aspirasi secara damai.
Jeda Kemanusiaan?
Dr. Vince Tebay, Anggota Forum Akademisi untuk Papua Damai menyampaikan sejumlah usulan untuk menyelesaikan konflik di Papua.
"Perlu ada jeda kemanusiaan. Coba semua berhenti dulu dan kita fokus satu ini. Berhenti dari konflik senjata. Berhenti dengan segala janji pembangunan fisik sementara konflik jalan terus dan terjadi korban di sana sini," tutur Vince.
Pemerintah pusat harus membuka diri untuk menyelesaikan konflik bersenjata di Papua. Kemudian membangun Papua dengan demokratis dan bermatabat. Pemerintah harus segera menarik militer dari seluruh wilayah Papua dan mengutamakan pendekatan kemanusiaan yang damai.
Vince meminta pemerintah mencari peta jalan penyelesian Papua dengan membuka dialog antara Jakarta dan Papua. Pemerintah perlu mencari penyelesaian melalui masyarakat dengan karakteristik masyarakat setempat dan melibatkan orang-orangyang mengetahui budaya orang Papua. [fw/em]