Sri Sultan Hamengkubuwono X memakai ageman takwa, atau pakaian jawa khas keluarga Keraton Yogyakarta ketika menyambut Kaisar Naruhito, Rabu (21/6) malam. Pakaian ini selalu dikenakan ketika Sultan menghormati tamu dari kalangan monarki, seperti kunjungan Raja Kerajaan Belanda Willem-Alexander, pada Maret 2020 lalu.
GKR Mangkubumi, putri sulung Sri Sultan Hamengkubuwono X, sedikit bercerita tentang bagaimana mereka menyambut kedatangan Naruhito.
“Ada tarian, seperti biasa tarianya Beksan Lawung, kemudian beliau melihat batik, keris, wayang kulit. Intinya beliau senang sekali dan melanjutkan visit dari orang tuanya sebelumnya, ke sini,” ujar Mangkubumi.
Naruhito juga menikmati sajian khas Kraton kali ini. Setup jambu dipilih sebagai minuman pembuka, diikuti sop ayam, nasi pandan wangi, empal sapi, hingga es teler sebagai penutup.
Pada 1991, Kaisar Akihito yang merupakan ayah Naruhito, berkunjung ke Keraton Yogyakarta, dan juga diterima oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X. Karena itu, Mangkubumi juga menyebut kunjungan ini sebagai silaturahmi antargenerasi bagi kedua monarki.
Sisi Kelam Sejarah
Suasana makan malam yang hangat diiringi orkestra di Keraton itu seolah menutup fakta bahwa ada sejarah kelam yang berlangsung di masa penjajahan Jepang, 1942-1945, tidak hanya terjadi di Yogyakarta. Namun, di seluruh Indonesia. Padahal, hanya lima kilometer di sebelah utara Keraton Yogyakarta, membentang Selokan Mataram. Saluran air sepanjang sekitar 30 kilometer yang dibangun Sri Sultan HB IX untuk menyelamatkan rakyat Yogyakarta dari kerja paksa Jepang, romusha.
Korea Selatan dan China sampai saat ini masih mengenang kekejaman Jepang dalam sikap politik yang tegas. Sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Aji Cahyo Baskoro, ketika berbincang dengan VOA mengaku tidak bisa memastikan apakah orang Indonesia lupa atau memaafkan tindakan Jepang di masa lalu itu.
“Sulit menjawab itu. Saya tidak berani mengambil kesimpulan, apakah kita memaafkan atau lupa. Ya memang, kita kalau di dalam sejarah, dalam historiografi, misalnya, tentang jugun ianfu atau romusha itu jarang dibahas. Jugun ianfu terutama, kalau romusha sudah jadi pembahasan lebih umum,” kata Aji.
Jugun ianfu adalah upaya paksa kepada perempuan-perempuan Indonesia untuk menjadi budak seks tentara Jepang. Sementara romusha adalah kerja paksa, yang dilakukan untuk mendukung perang. Kedua tindakan keji Jepang itu, memakan korban ribuan orang.
Harus diakui, sebagai raja, Sri Sultan HB memiliki visi pribadi menngembangkan sektor pertanian melalui pembangunan saluran irigasi. Namun, pembangunan selokan Mataram juga bertujuan agar rakyat Yogyakarta terhindar dari romusha. Sementara ribuan perempuan Yogyakarta dan dari banyak wilayah, diyakini menjadi jugun ianfu, juga dikirim ke luar Jawa.
Dalam banyak narasi, hubungan Indonesia dan Jepang memang diwarnai banyak kisah kedekatan. Bahkan di tengah upaya merebut kemerdekaan, buku-buku sejarah selalu menyebut peran sejumlah tokoh Jepang, yang dikatakan turut membantu. Setelah era itu, banyak juga narasi tentang serdadu Jepang yang tidak mau kembali ke tanah airnya, dengan alasan lebih mencintai Indonesia. Di taman makam pahlawan Kalibata, ada area khusus untuk memakamkan tokoh-tokoh Jepang yang dinilai mendukung kemerdekaan.
Sementara kekejaman Jepang pada rakyat Indonesia seolah tidak pernah menjadi gangguan. Pembahasan isu itu juga sangat minim, apalagi pada skala negara.
“Memang untuk masalah kemanusiaan agaknya kurang. Saya tidak mengatakan tidak pernah, tetapi rasanya masih kurang, dan sejauh pengalaman kita, hal-hal seperti itu hampir tidak pernah menganggu hubungan kedua negara,” tambah Aji.
Kekejaman yang Hilang
Salah satu kisah paling menyakitkan dalam sejarah Indonesia-Jepang, adalah jugun ianfu. Diperkirakan ada sekitar 200 ribu perempuan dari Korea, China, Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, dan Vietnam menjadi budak seks tentara Jepang.
Negara seperti China dan Korea bersikap tegas dalam isu ini, sedangkan Indonesia cenderung tak bersuara.
“Sejauh yang saya amati, isu ini belum mendapatkan tempat. Negara belum pernah, misalnya, menggugat itu secara serius. Tapi kalau dari sisi para korban, tentu itu mejadi kerikil dalam sepatu hubungan kedua negara,” ujar Aji Cahyo Baskoro.
Meski negara tidak bergerak, bukan berarti korban diam. Salah satunya adalah almarhumah Mardiyem, perempuan Yogyakarta yang “menggugat” pemerintah Jepang di akhir tahun 90-an.
Budi Santoso, Direktur LBH Yogyakarta 1995-2001 yang mendampingi Mardiyem, ingat betul bagaimana perjuangan mereka.
“Salah satu klausul yang paling penting, yang diperjuangkan oleh para korban, Bu Mardiyem dan kawan-kawan itu, adalah permohonan maaf dari pemerintah Jepang secara personal, kepada masing-masing korban,” ujar Budi.
Mardiyem menjadi jugun ianfu ketika berumur 13 tahun. Dia dikirim dari Yogyakarta ke Kalimantan, dan menjadi budak seks sepanjang 1942-1945. Dengan dampingan LBH Yogyakarta, dia menuntut pemerintah Jepang meminta maaf, memberikan ganti rugi, dan memasukkan jugun ianfu sebagai bagian materi pelajaran sejarah di sekolah. Mardiyem, yang dipanggil Momoye (penyanyi) oleh serdadu Jepang, memperjuangkan itu hingga kematiannya pada 2007.
“Pemerintah Jepang memberikan sejumlah bantuan dana, dilewatkan Kementerian Sosial. Nah, tapi ternyata oleh Menteri Sosial waktu itu, bantuan ganti rugi atau apapun sebutannya, dengan dalih untuk kepentingan semua korban, kemudian tidak dibagi-bagikan ke korban secara langsung, tetapi justru dibangun panti wreda di sejumlah kota,” tambah Budi.
Kementerian Sosial, di era 1997 hingga awal reformasi berkilah, panti wreda bisa digunakan mantan jugun ianfu yang menderita di hari tua. Namun faktanya, tidak banyak yang mau tinggal di dalamnya. “Karena bukan itu yang diperjuangkan. Akhirnya, panti wreda itu penggunanya justru yang bukan korban,” lanjut Budi.
Soal permintaan maaf, pemerintah Jepang memilih melakukan itu secara kenegaraan, dari pemerintah ke pemerintah. Padahal, kata Budi, yang merasakan penderitaan sebagai jugun ianfu adalah masyarakat secara personal.
Budi mengatakan, “Dengan permintaan maaf secara kenegaraan melalui pemerintah Indonesia, dengan memberikan bantuan lewat Kementerian Sosial, pemerintah Jepang menganggap itu sudah selesai. Sementara korban menolak kedua upaya itu.”
Satu persatu, mantan jugun ianfu itu meninggal di usia tua. Sebagian, kata Budi, mengalami sakit seperti hancur rahimnya, penderitaan fisik lain hingga tekanan psikis. Persoalan itupun kemudian hilang begitu saja, dan tidak lagi diperbincangkan publik. Termasuk keinginan Mardiyem, agar jugun ianfu masuk dalam pelajaran sejarah di sekolah juga tidak terwujud. Budi mengatakan, dalam sebuah pertemuan, Kementerian Pendidikan menyatakan tragedi itu sebagai aib.
Mardiyem pernah diundang ke Jepang untuk menceritakan apa yang dialaminya. Di setiap sesi pertemuan dengan siswa-siswa, menurut Budi, selalu muncul tangisan penyesalan anak-anak Jepang. Jugun Ianfu saat ini justru masuk menjadi bagian dari buku sejarah di sekolah Jepang.
Saudara Tua Sampai Kini
Jepang bukan negeri asing bagi rakyat Indonesia. Dalam sejarah, kata sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakara, Aji Cahyo Baskoro, hubungan dagang warga dua negara sudah terjadin sejak abad ke-16.
“Sudah ada lalu lintas orang Jepang ke Nusantara dan juga pedagang dari Indonesia ke Jepang. Terus kemudian sebelum periode perang, awal abad 20 sampai meletusnya Perang Dunia, juga sudah banyak orang-orang Jepang yang berdagang di Indonesia,” tambah Aji.
Namun, sejarah kedua negara paling banyak dibicarakan, termasuk menjadi bagian dari pelajaran di sekolah adalah pada periode penjajahan 1942-1945.
Tahun 1958, melalui perjanjian San Fransisco, Jepang bersedia membayar pampasan atau dana ganti rugi perang. Indonesia termasuk salah satu negara yang menerimanya, dan dimulailah program-program bantuan pembangunan dari negara itu.
Tahun itu pula, Colomba Plan ditetapkan sebagai kesepakatan negara-negara di wilayah Selatan yang miskin. Jepang turut berbaik hati menggelontorkan dana bantuan. Salah satunya terwujud dalam proyek sabo dam di Gunung Merapi Yogyakarta dan Semeru Jawa Timur.
Tidak heran, jika Kaisar Naruhito menyempatkan diri menengok Balai Teknik Sabo, milik Kementerian PUPR di Yogyakarta.
“Karena sama, Indonesia dan Jepang. Jepang punya 111 gunung berapi, kita mempunyai 129 gunung berapi. Jadi pengendalian laharnya dengan menggunakan sabo,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono.
Sabo adalah bahasa Jepang untuk pasir. Teknologi ini dibawa Jepang untuk menangani amukan gunung Merapi dan Semeru, yang bisa mengirim jutaan kubik material ketika meletus. Dam sabo di bangun di aliran sungai, bukan untuk membendung air tetapi menahan laju pasir dan batu. Sementara air leluasa mengalir hingga bawah. Bentuknya seperti tangga, jika sabo di bagian atas telah penuh pasir dan batu, maka material akan mengalir ke bawah dan ditampung di dam kedua. Begitu seterusnya hingga material letusan diharapkan tidak menjadi ancaman di kawasan pemukiman.
“Merapi menurut master plan butuh 367 dam sabo, sekarang baru 227, masih butuh 90 lagi, untuk kapasitas 11 juta meter kubik pasir,” lanjut Basuki.
Sepanjang kunjungannya, Kaisar terlihat begitu senang bahwa bantuan negaranya dapat dipakai sejak 1958 hingga saat ini. Sejak 1970, para tenaga ahli dari Jepang silih berganti datang dalam proyek dam sabo, begitupun ratusan ahli Indonesia belajar ke Jepang.
Dari sisi sejarah, kata Aji, Indonesia memang sangat mudah memaafkan. Hanya beberapa tahun setelah pemberian pampasan perang melalui bantuan pembangunan infrastruktur, Indonesia menjadi pasar besar bagi produk otomotif Jepang, sampai saat ini. Begitupun, kekejian terkait romusha, jugun ianfu atau bentuk kekejaman tentara Jepang sepanjang perang kemerdekaan, seolah hilang tanpa bekas, dan sekadar menjadi perbincangan. [ns/ab]
Forum