Banyak gereja di Amerika Serikat menghentikan atau membatasi kegiatan rutin mereka dalam dua bulan belakangan ini. Keputusan tersebut diambil untuk memenuhi anjuran pemerintah untuk menghindari kerumunan orang yang berpotensi menyebarkan virus corona yang telah menelan banyak korban jiwa.
Namun tak sedikit gereja yang bersikukuh membuka pintu mereka untuk kegiatan ibadah, seperti misa atau kebaktian. Para pengelola gereja itu membantah mengabaikan anjuran pemerintah, dan mengaku telah mengambil sejumlah langkah untuk mengantisipasi ancaman dari virus itu.
Misa di Gereja Episkopal St Matthew di Hyattsville, Maryland, terasa berbeda. Biasa dihadiri hampir 200 orang, misa Minggu di akhir Maret itu hanya dihadiri puluhan orang. Pastur yang memimpin misa di gereja Katolik itu membuka kotbahnya dengan mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam akan merebaknya wabah virus corona.
Pastur itu mengatakan, terkait upaya menanggulangi penyebaran virus corona, beberapa kegiatan rutin dibatasi atau bahkan ditiadakan sama sekali untuk sementara waktu. Ini termasuk perjamuan kudus dan persembahan.
Pada perjamuan kudus, contohnya, pastur tidak lagi menempatkan potongan kecil roti (atau biasa disebut hosti) langsung di lidah jemaat. Pastur kali ini menempatkannya di tangan masing-masing jemaat.
Pastur juga mengingatkan jemaat gereja untuk tidak melakukan persembahan (kolekte) dalam bentuk uang kontan atau cek. Ia menyarankan agar sumbangan itu dikirimkan secara online ke rekening gereja. Pastur juga mengingatkan, tidak ada lagi kegiatan berjabat tangan seusai misa.
Mary Costa, seorang jemaat gereja itu, menyambut keputusan yang diambil gereja itu.
"Ini sesuatu yang masuk akal. Inilah yang harus dilakukan semua orang. Saya yakin ini sudah dilakukan di gereja ini. Para pengurus gereja ini mendengarkan peringatan-peringatan yang dikeluarkan pemerintah terkait wabah virus corona," kata Costa.
Namun, tidak semua gereja mengambil langkah-langkah tersebut. Mengabaikan perintah eksekutif Gubernur Louisiana, John Bel Edwards, seorang pendeta di gereja Life Tabernacle do Baton Rouge, akhir Maret lalu mengadakan kebaktian di tempat terbuka yang dihadiri lebih dari 1.800 orang.
Pendeta tersebut, Tony Spell, mengatakan pemerintah memang memberlakukan larangan berkumpul lebih dari 50 orang, namun itu tidak berlaku untuk kegiatan di ruang terbuka. Dalam kebaktiannya, ia bahkan mengingatkan jematnya dengan mengatakan: “Teruslah datang ke gereja, teruslah menyembah Tuhan! Gereja adalah rumah sakit bagi orang yang sakit! Tempat menyembuhkan mereka yang patah hati.”
Keputusan pendeta Spell tak sedikit mengundang kecaman. Seorang anggota gereja mengatakan, “Jelas bahwa Anda tidak memiliki tanggungjawab terhadap anggota gereja dan komunitas Anda. Bukannya menenangkan kecemasan, Anda malah menciptakan lebih banyak kecemasan bagi masyarakat.”
Dalam kegiatan kebaktian yang dipimpin setiap miggunya, ia bahkan membiarkan jemaat duduk berdekatan dan menggunakan mikrofon yang sama saat mengajukan pertanyaan dan berdialog dengan pendeta.
Gereja East Side Baptist di Buffalo, New York, juga membuka pintunya, namun mematuhi anjuran pemerintah negara bagian untuk mengambil langkah-langkah antisipasi. Saat datang, setiap jemaat disambut dengan cairan penyanitasi tangan (hand sanitizer), dan kemudian juga dianjurkan untuk duduk berjauhan – sedikitnya dua meter. Pengunjung gereja itu juga dibatasi hanya 50 orang,
Pastur Zandra Lewis mengatakan kepada para jemaat gereja itu, mereka percaya kepada Tuhan. ”Menjadi orang yang mempercayai Tuhan, kita seperti dilindungi oleh Tuhan,” katanya.
Namun, tak sedikit gereja yang membela keputusan mereka untuk menghentikan kegiatan gerejanya sementara waktu.
"Tidak ada salahnya mengambil sikap sangat berhati-hati. Kami melakukan ini demi kebaikan jemaah dan demi orang-orang yang bekerja di gereja ini. Kesehatan dan kesejahteraan mereka adalah alasan kami mengambil keputusan tersebut," kata juru bicara Gereka Archdiocese di Baltimore, Sean Caine.
Menurut Pastur Jamie Workman dari Gereja Katolik Diocese di Arlington, pemerintah tidak memiliki wewenang untuk mengatur bagaimana gereja beroperasi. Seharusnya keputusan untuk meniadakan atau membatasi kegiatan gereja diambil oleh pengurus gereja itu sendiri.
“Pastur memiliki penialian yang lebih baik terhadap jemaatnya. Mereka lebih tahu apa yang dicemaskan para jemaatnya. Jadi bagi saya, keputusan menghentikan atau membatasi kegiatan gereja seharusnya diserahkan ke gereja masing-masing," kata Workman. [ab/uh]