Sintus Karolus, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis (29/4) mengungkapkan hingga kini masih ada 84.876 jiwa yang masih mengungsi akibat siklon tropis Seroja yang melanda 20 kabupaten dan satu kota pada awal bulan ini.
Para pengungsi ditampung di 63 titik penampungan dengan memperhatikan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus corona.
“Memastikan bahwa jangan sampai menimbulkan klaster baru untuk COVID-19 sehingga beberapa upaya setelah mereka beberapa hari di kamp pengungsian itu juga ada yang kita minta untuk menempati rumah-rumah keluarga yang mungkin masih dimungkinkan untuk mereka tempat," kata Sintus Karolus dalam rapat koordinasi Tim Intelijen Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kamis (29/4).
Ditambahkannya, jumlah korban meninggal dalam bencana alam pada Minggu, 5 April lalu, berjumlah 182 jiwa yang tersebar di sembilan kabupaten dan satu kota. Jumlah korban tewas terbanyak berada di Flores Timur, yaitu 72 jiwa, diikuti Lembata dengan 46 jiwa, dan Alor 29 jiwa. Korban hilang tercatat 47 jiwa.
Aliran Longsor
Abdul Muhari, Pelaksana Tugas Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB, mengatakan 55 dari 72 korban tewas di Flores Timur berada di Kecamatan Ile Boleng. Di wilayah itu, permukiman penduduk yang terletak di aliran lava Gunung Ile Boleng, banyak yang terkena aliran longsor batuan lava yang menggelinding dengan kecepatan tinggi karena berat batu dan kecuraman yang tinggi.
“Kalau kita rekonstruksi apa yang terjadi di Ile Boleng itu adalah batuan-batuan besar yang mengelinding dari atas kemudian di tebing ini meluncur menghantam rumah-rumah yang berbaris rapi di bawahnya. Batu-batu besar ini semacam membombardir rumah-rumah yang ada di bawahnya,” papar Abdul Muhari.
Abdul mengatakan wilayah tersebut sebenarnya masuk dalam daftar Kawasan Risiko Bencana Gunung Api yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Namun, karena kawasan itu sudah bertahun-tahun tidak dilanda banjir rutin, dia menduga, warga kemudian mendirikan permukiman dan menganggap daerah tersebut tidak membahayakan.
Menurut Wikipedia, Gunung Ili Boleng pertama kali meletus pada 1885 dengan ledakan moderat. Ledakan yang diikuti lava tercatat dalam letusan pada 1888.
Situasi serupa juga terjadi di desa-desa yang terletak di kaki gunung api aktif Lewotolok atau Ile Ape di Kabupaten Lembata dan Pulau Pantar di Kabupaten Alor.
Menurut Abdul, perlu edukasi kepada masyarakat agar tidak mendirikan bangunan di jalur aliran lava untuk mengantisipasi bencana serupa di masa mendatang.
Relokasi Rumah di Lembata
Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian PUPR Nazib Faizal mengungkapkan bahwa ada dua lokasi yang diusulkan menjadi permukiman baru bagi warga dari desa-desa yang terdampak banjir bandang dan aliran longsor di kaki gunung Ile Lewotolok, Kabupaten Lembata.
Kedua lokasi pemukiman baru tersebut adalah Waisesa I dan Waisesa II. Nazib mengatakan 154 unit rumah akan dibangun di Waisesa I dan 546 rumah di Waisesa II.
“Jadi memang kita arahkan untuk dipindahkan ke daerah yang menurut kami aman,” jelas Nazib Faisal.
Dia menambahkan percepatan pembangunan rumah untuk relokasi warga terdampak dilaksanakan melalui penerapan teknologi Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA).
Kementerian PUPR melaporkan siklon tropis Seroja menyebabkan 13.484 rumah rusak berat. 11.122 rumah rusak sedang. 29.816 rumah rusak ringan. [yl/ft]