Mohammad al-Haresh terlihat letih hari itu. Sudah seharian ia bekerja menggali kubur. Meskipun pendapatannya meningkat, ia dan teman-temannya sesama penggali kubur, mengaku kerepotan menanggapi tingginya permintaan terhadap layanan mereka.
“Dulu ada satu atau dua pemakaman sehari, dan kadang tidak ada sama sekali, tapi baru-baru ini, dan selama sebulan terakhir hingga hari ini, jumlah pemakaman meningkat. Sekarang kami menangani sekitar 10 sehari atau 8 sehari. Mereka datang membawa jenazah pada siang hari, saat matahari terbenam, dan bahkan pada malam hari,” kata Al-Haresh.
Al-Haresh mengatakan, sebelum pandemi situasinya berbeda. Penguburan terkadang bisa ditunda satu atau dua hari setelah kematian. Kini, menunda penguburan dilarang. Begitu meninggal, jenazah harus langsung dibawa ke pemakaman.
Ia mengatakan, situasi ini kian memburuk menjelang dan pada bulan Ramadan. Ia dan teman-temannya bekerja bergantian menggali kubur tanpa membatasi lagi waktu kerja mereka.
Tidak hanya taman-taman pemakaman yang kewalahan, tapi juga rumah-rumah sakit di Gaza. Sejumlah pejabat kesehatan Gaza mengatakan sekitar 70 persen tempat tidur unit-unit perawatan intensif ditempati pada bulan April, naik dari 37 persen pada akhir Maret. Ada 86 kematian tercatat pada pekan ketiga April, meningkat 43 persen dari sepekan sebelumnya.
Doktor Ayadil Saparbekov adalah kepala Tim Darurat Kesehatan Organisasi kesehatan Dunia (WHO) untuk Wilayah Palestina. Ia mengatakan, "Rumah-rumah sakit hampir mencapai kapasitas penuh. Memang belum penuh, tetapi kasus yang parah dan kritis telah meningkat secara signifikan dalam tiga pekan terakhir, dan ini harus menjadi perhatian."
Tingkat kepositifan (positivity rate) COVID-19 harian di Gaza mencapai 43 persen pekan ini, meskipun Saparbekov mengatakan angka pastinya kemungkinan lebih besar karena sebagian besar tes COVID-19 hanya diberikan kepada orang-orang yang sudah menunjukkan gejala.
Saparbekov juga mengatakan Gaza tidak memiliki kapasitas untuk mengidentifikasi varian COVID-19 yang sangat menular saat pengujian, yang berarti hanya ada sedikit data tentang hal itu.
Dengan populasi padat dan menampung sekitar 2 juta warga Palestina, Gaza selama bertahun-tahun memiliki akses terbatas ke dunia luar karena blokade yang dipimpin oleh Israel dan didukung oleh Mesir.
Kedua negara ingin menghentikan aliran uang dan senjata ke Hamas, kelompok militan Islam yang mengontrol Jalur Gaza.
Warga Palestina mengatakan blokade itu merupakan hukuman kolektif dan telah melumpuhkan ekonomi dan infrastruktur medis Gaza. Karena kekurangan pasokan medis dan peralatan penting, mereka kesulitan mengatasi pandemi.
Di tengah kekhawatiran yang meningkat, Hamas, Kamis (22/4) mulai memberlakukan sepekan jam malam. Mereka menutup masjid-masjid untuk kegiatan Ramadan.
Tetapi dengan sekitar 49 persen warga Gaza menganggur dan pemilu parlemen yang dijadwalkan berlangsung pada 22 Mei, Hamas menahan diri untuk tidak mengambil tindakan yang lebih drastis yang dapat memperparah kondisi ekonomi.
Sejumlah pejabat kesehatan mengatakan faktor-faktor yang menyebabkan lonjakan saat ini termasuk pelanggaran pedoman untuk mengenakan masker dan menjaga jarak sosial serta pembukaan perbatasan Gaza dengan Mesir pada Februari, yang memungkinkan masuknya varian baru.
Kecurigaan terhadap vaksin juga tinggi di Gaza. Menurut survei Pusat Media dan Komunikasi Yerusalem, mayoritas warga Gaza (54,2 persen) mengatakan, mereka tidak bersedia divaksinasi, sementara 30,5 persen mengatakan mereka bersedia dan 15,3 persen ragu-ragu.
Hanya 34.287 orang yang telah divaksinasi, meskipun Gaza telah menerima 109.600 dosis sejak Februari yang disumbangkan oleh Rusia, Uni Emirat Arab, dan program COVAX global. [ab/uh]