Pada tahun ini, LPSK akan dipimpin oleh anggota dan pimpinan yang baru. 14 nama calon anggota dan pimpinan LPSK telah diserahkan oleh Presiden kepada DPR untuk diseleksi menjadi tujuh nama terpilih anggota dan pimpinan LPSK untuk periode 2018-2023.
Menanggapi hal ini, Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban memberikan beberapa masukan kepada LPSK. Masukan ini disampaikan dalam sebuah acara diskusi bertajuk "10 Tahun LPSK dalam Wajah Hukum Indonesia" yang diselenggarakan di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (18/10).
Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan LPSK perlu memperluas cakupan perlindungannya sehingga tidak terbatas pada perkara pidana semata.
Cakupan tersebut diharapkan, selain perkara perdata, juga jika memungkinkan bisa hingga ke perkara tata usaha negara. Perlindungan tersebut dianggap perlu setelah terlihat mulai munculnya kecenderungan dimana terdakwa bahkan terpidana melaporkan balik saksi ahli atau pelapor.
"Dalam beberapa waktu belakangan ini, kami menemukan ada kecenderungan perlawanan balik dari tersangka, terdakwa, maupun terpidana kasus korupsi untuk melaporkan balik ahli-ahli yang memberikan keterangan dalam persidangan," kata Lalola.
Lalola mencontohkan kasus terakhir ada dua pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang dituntut secara perdata saat menjadi saksi ahli dalam persidangan. Dua ahli IPB itu yakni Bambang Hero Saharjo digugat oleh PT JJP dan Basuki Wasis digugat oleh terpidana kasus korupsi izin usaha pertambangan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.
Total gugatan kepada keduanya sebesar Rp 3,51 triliun. Keduanya digugat karena kesaksiannya sebagai ahli dinilai merugikan pihak yang berperkara di pengadilan.
Koordinator Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Uli Pangaribuan menilai kinerja LPSK lamban. Berdasarkan pengalaman pihaknya, lanjut dia, membutuhkan waktu beberapa minggu bagi LPSK untuk merespon sebuah kasus.
Apalagi, kata Uli, kalau kasus yang dimaksud sangat sensitif dan melibatkan korban perempuan. Dia menekankan LPSK perlu bertindak cepat untuk menangani kasus semacam itu.
Uli meminta LPSK juga menangani korban perempuan yang tidak mau melapor ke polisi karena malu atau takut. Karena selama ini, LPSK baru mau menangani korban jika ada bukti laporan ke polisi.
Uli juga berharap LPSK bisa memberikan perlindungan untuk saksi dan korban di luar kasus pidana. "Untuk ke depannya, mungkin kasus-kasus di luar dari kasus pidana juga bisa dipertimbangkan, diberikan perlindungannya. Kan tadi semua kasus pidana harus ada laporan (polisi). Tapi selain dari laporan polisi, itu nggak mendapat perlindungan dari LPSK," tukasnya.
Uli mengkritik karena LPSK kerjanya hanya terpusat di Jakarta dan didaerah-daerah belum terbentuk LPSK. Padahal undang-undang mewajibkan pembentukan LPSK di daerah-daerah.
Uli mencontohkan kalau ada korban atau saksi dalam sebuah perkara di daerah dan ingin meminta perlindungan ke LPSK, hal itu akan memakan waktu sangat lama dan ribet. Dia juga mempersoalkan rumah aman yang sulit diakses korban atau saksi sebab rumitnya persyaratan administrasi dan jam operasinya sesuai jam kantor.
Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Andi Mutaqqien mengkritik postur anggaran LPSK yang lebih mengutamakan kelembagaan sekitar 80 persen dari total anggaran dan sisanya baru untuk pelayanan. Alhasil, kualitas pelayanan menjadi berkurang.
Andi mencontohkan sebelumnya korban pelanggaran HAM masa lalu mendapat jatah pembelian kacamata dari LPSK, namun layanan itu kini sudah dihapuskan.
Andi menambahkan bahwa "pelebaran sayap" LPSK juga perlu terhadap kasus-kasus rumit. Kasus yang dimaksud misalnya dengan modus operandi yang rumit, seperti korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
"Untuk kasus korupsi misalnya, pencucian uang, LPSK tidak pernah berhasil mengambil atau melindungi justice collaborator. Mungkin dulu pernah ada, tapi kalau kita lacak, identifikasi, itu sangat sedikit. Padahal di situlah peran pentingnya LPSK," ujar Andi.
Sementara itu, Anggota LPSk Hasto Atmojo menilai jumlah pemohon yang sangat banyak sementara tenaga yang dimiliki oleh LPSK terbatas mungkin itu yang menyebabkan lembaganya terkesan bekerja lamban. Saat ini lanjut Hasto LPSK belum memiliki perwakilan di daerah.
"Setiap Senin kita rapat paripurna untuk memutuskan permohonan itu ditolak atau diterima, itu kira-kira 20 an seminggu.Yang masuk lebih banyak lagi karena sebagian tidak dibawa ke paripurna karena permohonannya bukan tindak pidana atau jelas bukan proritas LPSK," ulas Hasto.
Hasto menambahkan lembaganya sedang merencanakan dan telah berbicara dengan sejumlah pemerintah kota untuk membuat kantor perwakilan LPSK di daerah. Rencananya perwakilan itu akan dibuat di Surabaya, Makasar dan Medan.
LPSK saat ini merupakan lembaga yang sangat penting dalam rangka perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan korban. Lembaga ini juga turut membantu dalam penuntasan kasus seperti korupsi, KDRT, Pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan lain lain.
Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban menilai bahwa masih terdapat beberapa hambatan maupun tantangan yang akan dihadapi oleh LPSK ke depannya. Seperti sistem bantuan korban dan perlindungan saksi, dimana diperlukan dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi peraturan terkait LPSK dengan berbagai peraturan perundang-undangan terbaru yang menyangkut hak saksi dan korban.
Selain itu, kemampuan LPSK jug harus lebih ditingkatkan lagi agar mampu menjangkau kasus-kasus yang selama ini belum mampu ditangani oleh LPSK terkait perlindungan saksi dan korban. Di sisi yang lain, aturan pelaksanaan juga harus dipenuhi dan pembentukan perwakilan LPSK di daerah perlu diwujudkan untuk menunjang pemenuhan hak saksi dan korban.
Terkait dengan proses seleksi yang akan dijalankan, Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban mendorong agar pihak DPR serius dalam mencari figur-figur yang berintegritas, berkualitas dan memiliki motivasi pengabdian masyarakat yang kuat guna menjalankan tugas dan wewenang LPSK. (fw/jm)