Raut kesedihan masih tampak di wajah Harwati, warga Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ketika menceritakan kembali kenangan mengenai kampung halamannya yang saat ini sudah hilang karena tenggelam oleh lumpur Lapindo. Harwati merupakan salah satu korban musibah semburan lumpur Lapindo, yang masih berjuang untuk memperoleh hak-haknya sebagai penyintas lumpur yang tercerabut dari akar kehidupannya.
Warga penyintas lumpur Lapindo, sampai saat ini tidak hanya masih berjuang memperoleh pembayaran ganti rugi dari pemerintah maupun Lapindo Brantas atas rumah dan lahannya yang tenggelam oleh lumpur, tapi juga berjuang untuk tetap hidup di tengah ancaman masalah kesehatan akibat dampak lumpur Lapindo.
“Ya soal kesehatan, karena apa, baunya itu kan tidak semua orang bisa menahan, saya sendiri saja yang sudah 11 tahun di atas tanggul itu terkadang pusing, mual, kalau mendadak baunya sangat keras itu,” kata Harwati, Warga Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo.
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) menjadi gangguan kesehatan yang sering dialami warga, yang masih tinggal di sekitar tanggul kolam penampungan lumpur Lapindo. Harwati mengatakan, terdapat peningkatan jumlah pasien ISPA di beberapa Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) di sekitar tanggul kolam penampungan lumpur, sejak lumpur Lapindo meluap hingga saat ini. Namun sangat disayangkan, tidak semua warga penyintas maupun warga yang tinggal di sekitar Porong memperoleh jaminan kesehatan dari pemerintah.
“Hampir 11 tahun, ya 11 tahun pas kan ini tanggal 29, buat saya pribadi sangat memprihatinkan, karena dari riwayat kesehatan, terus ada penelitian juga soal kesehatan itu menyimpulkan bahwa peningkatan dari penyakit ISPA dari tiga Puskesmas diantaranya Porong, Jabon, Tanggulangin itu sangat mengerikan, sedangkan warga korban tidak tercover dalam kartu-kartu yang diprogramkan oleh pemerintah, salah satunya KIS (Kartu Indonesia Sehat). Kalau mereka berobat dengan biaya, uang sendiri, alangkah prihatinnya lagi karena seharusnya uang itu untuk membeli rumah atau tempat tinggal yang (sudah) terendam,” kata Harwati, Warga Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Rere Christanto mengungkapkan, penanganan terhadap penyintas lumpur Lapindo selama ini masih terbatas pada pembayaran ganti rugi. Menurutnya, hilangnya hak-hak warga di bidang kesehatan, sosial serta lingkungan, belum mendapat perhatian dari pemerintah.
Hasil riset WALHI Jawa Timur tahun 2016 menyebutkan, kandungan logam berat berupa timbal dan kadmium berada di atas level yang diperbolehkan di dalam lingkungan, khususnya di dalam air dan tubuh ikan. Hal ini terjadi akibat lumpur Lapindo selama ini dibuang ke sungai menuju ke laut, untuk mengurangi beban di dalam kolam penampungan lumpur.
“Dia bisa menjadi problem untuk kesehatan manusia kalau logam berat itu kemudian terpapar ke dalam tubuh manusia, kalau dia terakumulasi dalam tubuh manusia dalam jangka panjang, maka logam berat bisa menjadi penyakit di dalam tubuh manusia," kata Rere Christanto.
"Problemnya sampai sekarang, pemerintah sendiri, belum ada satu pun lembaga yang melakukan penelitian dengan sangat serius terhadap situasi yang ada di sekitar semburan lumpur Lapindo, tidak ada penelitian secara berkala terkait apa dampak semburan lumpur Lapindo terhadap lingkungan, kesehatan, dan sosial untuk masyarakat di sana,” imbuhnya.
WALHI Jawa Timur mendorong pemerintah serta instansi terkait, melakukan riset secara berkala di wilayah Porong, untuk mengetahui tingkat ancaman dari dampak lumpur Lapindo. Organisasi itu mengatakan, tidak hanya pencemaran air sungai dan sumur yang dimanfaatkan oleh warga, pencemaran udara akibat gas yang keluar dari semburan lumpur Lapindo juga perlu diteliti untuk mengetahui tingkat ancamannya.
Rere Christanto menyebut pemerintah belum melakukan tindakan apa pun untuk melakukan pemulihan atau penanganan, terhadap dampak lumpur Lapindo bagi kesehatan masyarakat di sekitar Porong yang setiap hari terancam.
“Kalau kita tahu zona level ancamannya kita bisa melakukan penanganan terhadap itu, bagaimana mengatasi jumlah logam berat yang meningkat. Apakah ada usaha pemulihannya, apakah ada usaha untuk kemudian menetralkannya, atau seperti apa, atau memberikan jaminan kesehatan kepada setiap warga yang ada di sana, karena begitu lingkungan rusak pasti kesehatannya pasti juga akan menurun,” jelas Rere. [pr/ab]