Sekitar 100 orang warga terdampak lumpur dari beberapa desa di sekitar tanggul lumpur, mendatangi titik 71 di atas kolam penampungan lumpur panas.
Warga yang sebagian besar perempuan, berdiri di pinggir tanggul sambil memanjatkan doa, mengenang dan mendoakan kerabat mereka yang telah meninggal, yang kuburannya sudah tidak tampak lagi akibat terendam lumpur. Sambil berdoa warga menaburkan bunga ke dalam tanggul penampungan lumpur.
Seorang perwakilan warga terdampak lumpur dari kelompok "Korban Lapindo Menggugat", Khobir mengatakan, peringatan ini merupakan pengingat bagi semua orang untuk tidak lagi mengizinkan praktek pertambangan dilakukan di dekat permukiman warga.
“Mengingatkan kembali kejadian 10 tahun yang lalu luapan lumpur Lapindo, kita mengenang lagi, dan di hari ini adalah yang ke 10 tahun, jangan sampai terjadi, terulang kembali kejadian yang seperti ini. Dan kita bersama-sama mengadakan suatu penolakan kepada pengeboran yang baru yang berada di permukiman,” kata Khobir, Perwakilan Warga Korban Lapindo Menggugat.
Selama 10 tahun lumpur Lapindo menyembur, belasan desa di tiga kecamatan tenggelam. Ribuan rumah, sekolah, pasar, puskesmas, sawah, hingga kuburan tidak lagi dapat dilihat wujudnya. Puluhan ribu warga harus mengungsi dan pindah ke tempat yang lebih aman, dan sebagian masih menunggu pelunasan ganti rugi yang belum seluruhnya selesai dilunasi.
Arifin, warga Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin, menuturkan, meski rumahnya tidak ikut tenggelam oleh lumpur, dirinya merasa trauma akibat tumpahan lumpur dari tanggul yang sering jebol beberapa waktu lalu.
Pencemaran air dan tambak yang menjadi sumber penghidupannya, membuat Arifin dan banyak warga lain menolak rencana Lapindo Brantas melakukan pengeboran kembali. Arifin juga mengaku mengalami banyak kerugian akibat lumpur Lapindo.
“Dampak yang dirasakan sekarang adanya lumpur Lapindo, yaitu air dan dampaknya bagi pertanian, pertanian tambak, ini tidak bisa menyelesaikan. Kalau dulu air gak beli, sekarang sampai beli. Nah sekarang banyu, air menjadi asin di sumur-sumur. Nah, ini pemerintah sendiri tidak memperhatikan hal seperti ini yang dialami warga, dan dampak kesehatannya bagaimana kalau terus-terusan seperti ini,” kata Arifin, warga Desa Kalidawir, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo.
Selain melakukan doa bersama dan ziarah kubur oleh warga, kegiatan peringatan 10 tahun Lumpur Lapindo juga diisi dengan pembacaan puisi oleh seniman, serta pemasangan karya instalasi berjudul “Gombal” di dalam kolam penampungan lumpur Lapindo.
Dadang Christanto selaku perupa yang membuat karya instalasi ini mengatakan, pesan dari karya instalasi Gombal ingin mengingatkan bahwa pemerintah masih sering memperlakukan rakyat sebagai gombal, dengan meminggirkan dan menganggapnya tidak bernilai. Gombal sendiri merupakan istilah bahasa Jawa untuk kain bekas yang tidak terpakai, yang banyak digunakan sebagai alat pembersih kotoran.
“Hampir keseluruhan masyarakat di Indonesia, rakyat miskin itu termarginalkan kok, ini kan salah satu yang paling ekstrim, paling monumental, dalam arti monumental penderitaan manusia. Mereka mengidentifikasikan dirinya Gombal, tersingkirkan, termarginalkan, rombeng (barang bekas tidak terpakai),” kata Dadang Cristanto, Perupa dan Pendamping Warga Terdampak Lumpur Lapindo.
Hingga 10 tahun semburan lumpur Lapindo, belum semua warga korban lumpur yang masuk dalam peta area terdampak menerima ganti rugi sepenuhnya. Data terakhir menyebutkan, masih ada sekitar 80 berkas yang belum diselesaikan pelunasannya.
Sampai saat ini pun, belum ada ahli yang bisa memastikan kapan semburan lumpur akan berhenti, sehingga rencana pengeboran kembali oleh Lapindo Brantas malah menimbulkan kekhawatiran baru bagi warga. [pr/ab]