Menko Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengibaratkan ASEAN saat ini seperti sedang berada di persimpangan jalan. Fakta ini, katanya, terkait dengan berbagai konflik yang terjadi belakangan ini yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan kawasan Asia Tenggara.
“Dinamika geopolitik saat ini terus berkembang. Pandemi COVID-19 telah memengaruhi ketahanan ekonomi dan kesehatan di kawasan. Konflik Rusia-Ukraina masih berlangsung, rivalitas geopolitik di kawasan terus meningkat dan mengancam kesatuan ASEAN. Situasi di Myanmar masih belum membaik Oleh sebab itu, maka pada saat ini ASEAN berada di persimpangan jalan karena situasi geopolitik yang seperti itu,” ungkap Mahfud dalam acara Seminar Nasional ASEAN 2023, di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (13/7).
Ia mengatakan, Indonesia yang saat ini sedang memegang Keketuaan ASEAN, menghadapi lima tantangan yang tidak mudah. Pertama, katanya, ASEAN harus mengatasi dampak rivalitas negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat China (RRT) yang semakin tajam.
“Rivalitas semula diawali oleh ekonomi tetapi kemudian menjalar ke politik dan militer. AS dan RRT merupakan mitra strategis ASEAN yang sama-sama penting. RRT merupakan mitra dagang terbesar di ASEAN selama 14 tahun berturut-turut dengan volume perdagangan pada tahun 2022 mencatatkan rekor tertinggi yaitu USD722 miliar. Di sisi lain AS, juga merupakan penyumbang foreign direct investment terbesar. Pada tahun 2022 saja mencapai nilai USD40 miliar. Di tengah kondisi tersebut, ASEAN tentu harus memperkuat sentralitas dan kesatuannya dari pengaruh kekuasaan eksternal yang ingin memecah ASEAN ini,” jelasnya.
Tantangan kedua, kata Mahfud, menyangkut konflik Rusia-Ukraina yang tidak berkesudahan. Dampaknya secara global yang semakin nyata dari konflik kedua negara ini adalah krisis energi dan pangan, seperti melambungnya tingkat inflasi dan gejolak harga minyak mentah dunia.
“Konflik Rusia-Ukraina ini meningkatkan ketegangan baik di kawasan maupun di tingkat global antara Rusia dengan AS, dan negara sekutu terutama akibat dukungan AS dan sekutunya kepada Ukraina. Konflik tersebut juga makin mempertegas fenomena klasik persaingan kekuatan besar termasuk rivalitas tadi, Amerika dan RRT dan telah mendorong perubahan dinamika global dengan semakin mendekatnya hubungan Rusia dan RRT sebagai aliansi yang berpotensi menantang dominasi tata dunia saat ini oleh Amerika,” tambahnya.
Ketiga, kata Mahfud, terkait situasi konflik dan krisis yang terjadi di Myanmar. Konsensus lima poin telah disepakati, namun tidak ada kemajuan yang signifikan dalam implementasinya hingga dua tahun pasca kesepakatan tersebut.
Keempat, ujarnya, terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Indonesia, menurut Mahfud, telah bertindak cepat mengatasi kejahatan lintas batas negara itu dengan membentuk tim gugus pemberantasan TPPO. Hasilnya, dari 5 Juni-5 Juli, pemerintah telah berhasil menyelamatkan 1.943 korban TPPO, serta menangkap dan menetapkan 658 orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Jumlah tersebut masih sangat kecil, pasalnya dari 9,6 juta Pekerja Migran Indonesia (PMI), 4,6 juta di antaranya tercatat masih bekerja di luar negeri secara ilegal.
“Jadi kita masih punya orang yang tersebar di berbagai negara yang (bekerja secara) ilegal. Karena itu melibatkan jaringan internasional, bukan hanya kita. Oleh sebab itu, maka negara harus hadir di dalam perlindungan WNI, tidak ada satu negara pun yang dapat menangani kejahatan lintas batas secara sendiri. Oleh sebab itu ASEAN harus bersatu. Maka melalui forum APAC (Asia Pacific Affairs Council, red), Indonesia mengingatkan ASEAN bahwa isu TPPO merupakan masalah bersama dan membutuhkan komitmen serta kolaborasi. Indonesia akan terus mengajak negara-negara ASEAN untuk memperkuat upaya pemberantasan TPPO melalui kerja sama para aparat penegak hukum,” katanya.
Kelima dan terakhir, ujar Mahfud, adalah tantangan di bidang keamanan maritim. Wilayah ASEAN yang dua per tiganya merupakan laut, menyimpan banyak potensi kekayaan alam. Potensi yang luar biasa ini memicu konflik di perairan tersebut mengingat adanya klaim wilayah yang tumpang tindih, khususnya di Laut China Selatan. Apalagi, 50 persen dari arus perdagangan dan jalur distribusi energi dunia melalui perairan ASEAN.
Meski dihadapkan dengan berbagai tantangan-tantangan di atas tersebut, Indonesia sebagai ketua ASEAN kali ini, kata Mahfud, harus tetap optimistis dan yakin bahwa ASEAN akan tetap relevan untuk masa-masa yang akan datang.
“Tiga hal utama yang harus dilakukan itu adalah ASEAN harus efektif di mana ASEAN membutuhkan pendekatan yang lebih transformatif, efektif, dan cepat demi kebaikan bersama. Kedua, ASEAN harus selalu relevan dan mampu menjawab tantangan terkini dan tantangan yang akan datang. Dan ASEAN harus bermanfaat bagi masyarakat di kawasan dunia,” tambahnya.
Pakar: ASEAN Harus Ubah Gaya Kepemimpinan
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Rizky Ramadhan sependapat dengan pernyataan Mahfud bahwa ASEAN seakan berada di persimpangan jalan sering dengan konflik geopolitik global yang terjadi akhir-akhir ini. Rizki bahkan mempertanyakan, apakah keberadaan ASEAN masih penting bagi negara-negara anggotanya.
Rizky mencontohkan, konflik Myanmar yang tidak kunjung usai. Ia menilai bahkan Myanmar seakan tidak membutuhkan ASEAN, karena negara tersebut tidak melihat adanya manfaat ASEAN.
“ASEAN seringkali menempatkan negara-negara yang bermasalah ini sebagai bukan lagi dirangkul sebagai keluarga. Seakan-akan memposisikan sebagai kontra dari isu tersebut. Itu jadinya perlu dievaluasi dalam artian gaya kepemimpinan di ASEAN ini, harus diubah kalau tidak ASEAN saya yakin akan semakin lemah dan irelevan. Itu sangat disayangkan,” ungkap Rizky.
Rizky mengungkapkan, ASEAN perlu berusaha untuk mendengarkan suara negara-negara anggotanya sendiri, bukan lebih mendengarkan aspirasi dari negara-negara mitra ASEAN.
“Itu yang saya lihat sering kali ASEAN belum mendengar keinginan atau aspirasi dari negara anggotanya. Kedua, perubahan yang lain adalah lebih melihat permasalahan itu tidak terbawa mainstream, ketika gelombangnya lagi ke arah kanan dia ikut ke kanan, harus punya sikap sendiri yang mementingkan kesatuan ASEAN. Bicara kesatuan ASEAN ya, otomatis harus mendengar kepentingan dari negara anggota ASEAN, tidak justru bersikap oposisi atau pun keras dan cenderung konfrontatif dengan melihat negara anggotanya yang bermasalah ini bukan anggota keluarga,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum