Bagi Malala makna anugerah Nobel Perdamaian baginya adalah untuk memberikan pesan sangat penting bahwa sebagai warga Pakistan ia bisa membuktikan bahwa Pakistan yang dikenal sebagai negara kaum teroris bisa membuktikan yang sebaliknya, bahwa negara tersebut juga menginginkan perdamaian dan mendukung pendidikan.
Malala mengatakan ia sudah lama mempersiapkan diri supaya bisa bertanggungjawab, bekerja demi masyarakat Pakistan dan pendidikan anak-anak tanpa mengharapkan Nobel Perdamaian. Namun dengan anugerah tersebut, Malala merasa tanggung jawabnya semakin bertambah. “Saya harus bekerja lebih keras untuk memastikan agar setiap anak bisa bersekolah. Saya yakin Pakistan akan maju jika anak-anak Pakistan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi,” tambahnya.
Walaupun secara umum warga Pakistan gembira karena ia berhasil meraih penghargaan bergengsi ini, ada juga kecaman yang mengatakan bahwa ia tidak layak menerimanya karena masih terlalu muda. Malala mengakui sudah kebal menerima kritik dan juga pujian, karena itu adalah bagian dari hidupnya.
“Saya sudah punya pengalaman cukup panjang. Saya telah memulai kampanye pendidikan anak-anak ini sejak berusia 10 atau 11 tahun, jadi sudah sekitar 7–8 tahun saya berjuang. Jadi saya sudah kebal menerima kritik dan pujian. Ini bagian dari hidup saya. Tidak semua kritik buruk. Ada kritik membangun yang membuat saya belajar,” ujarnya.
Ia juga yakin alasan ia menerima penghargaan bergengsi tersebut adalah karena masih banyak anak-anak Pakistan yang belum bisa bersekolah. “Alasan pemberian penghargaan ini adalah supaya saya dan Satyarthi menggiatkan upaya kami demi pendidikan anak-anak. Alasan lain adalah untuk meyakinkan kepada para pemimpin dunia bahwa meski terjadi pembangunan dan kemajuan luar biasa di dunia, masih ada anak-anak yang tidak bisa bersekolah,” tambahnya.
Malala mengaku sangat berbahagia karena perjuangannya tentang pendidikan menjadi isu dunia. Ketika ia menulis buku dengan nama pena “Gul Makai,” ia hanya menceritakan apa yang terjadi di Swat, Pakistan. Ia menceritakan bahwa di sana ada teroris yang menghancurkan sekolah-sekolah, membela hak anak laki-laki tetapi memusnahkan mimpi anak perempuan. “Jadi Gul Makai hanya menggambarkan fakta yang terjadi. Gul Makai hanya menyampaikan kebenaran, hal yang sangat penting dalam hidupnya. Apa yang dilakukan Gul Makai dulu hingga kini masih saya lakukan,” ujarnya.
Malala percaya bahwa walaupun saat ini masih ada kepahitan hidup yang terjadi, kita tetap harus menyampaikannya. “Karena kalau tidak, maka persoalannya tidak pernah selesai. Jika saya tidak memberanikan diri mengatakan bahwa anak-anak perempuan di Pakistan telah dieksploitasi maka mereka akan terus begitu dan tidak memperoleh hak yang setara.”
Malala senang karena para pemimpin dunia memang sudah menjadikan pendidikan sebagai bagian dari tujuan pembangunan millennium, meski baru pada tingkat pendidikan dasar. “Saya heran juga bagaimana mungkin negara-negara kaya ini menjadikan pendidikan menengah dan menengah atas, atau SMP dan SMA, sebagai tingkat pendidikan yang penting bagi anak-anak di negara mereka, tetapi untuk negara miskin hanya pada tingkat pendidikan dasar? Dulu misi Gul Makai hanya pada tingkat Swat, Pakistan tetapi kini pada tingkat dunia,” katanya.
Ketika ditanya apakah ia akan kembali ke Pakistan dan melanjutkan pekerjaan di sana, Malala menjawab, “Insya Allah segera.” Saat ini ia sedang disibukkan dengan sekolah dan ujian. “Segera setelah saya bisa libur, saya akan kembali dan mengabdi pada negara saya,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Saya masih ingat anak-anak perempuan di kawasan pemukiman saya yang belum bisa bersekolah. Ketika itu saja saya bisa mengenakan seragam sekolah dan mereka tidak. Saya merasa sangat nelangsa mengenang semua itu. Saya ingin kembali menumbuhkan harapan mereka. Saya ingin mereka bisa kembali bersekolah dan ikut memajukan Pakistan. Mendidik seorang anak sama seperti mendidik seluruh masyarakat dan bangsa.”
Malala yakin bahwa politik adalah salah satu cara untuk bisa mengabdi pada negara secara keseluruhan dan bahwa politik bisa digunakan untuk meningkatkan pendidikan di Pakistan. Itu adalah alasannya ingin terjun ke dunia politik dan menjadi perdana menteri. Ia yakin jika kelak menjadi politisi, ia bisa membuat kebijakan yang baik dan menerapkannya secara proporsional.
“Saya ingin bekerja bagi negara saya, mendorong semua anak bisa bersekolah. Saya pikir dunia pendidikan dan politik saling terkait karena dalam politik Pakistan, sejumlah kebijakan pendidikan yang ditetapkan hanya tampak bagus di atas kertas, tapi buruk ketika diterapkan. Saya berharap jika kelak warga Pakistan memilih saya dan saya menjadi perdana menteri, saya akan mengabdi secara total.”
Namun ia menggarisbawahi bahwa kalaupun ia tidak menjadi perdana menteri, ia masih akan tetap mengabdi bagi negaranya. “Kalau pun saya terjun ke politik dan suatu hari nanti menjadi perdana menteri, mungkin baru ketika saya berusia 35 atau 40 tahun. Masih banyak waktu bagi saya untuk bekerja dan mengabdi,” ujarnya.